Prof. M. Dawam Rahardjo dan Istri

Acara Pelantikan Prof. M. Dawam Rahardjo menjadi Rektor Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta

Prof. M. Dawam Rahardjo

Foto ini hanya sebagai contoh untuk penayangan slide.

Ini adalah Contoh Gambar

Foto ini hanya sebagai contoh untuk penayangan slide. Kami nanti akan segera ganti dengan foto-foto yang lebih menarik.

Ini adalah Contoh Gambar

Foto ini hanya sebagai contoh untuk penayangan slide. Kami nanti akan segera ganti dengan foto-foto yang lebih menarik.

Ini adalah Contoh Gambar

Foto ini hanya sebagai contoh untuk penayangan slide. Kami nanti akan segera ganti dengan foto-foto yang lebih menarik.

Pages

EKONOMI POLITIK KEBANGKITAN BANGSA

Oleh: M. Dawam Rahardjo
Rektor UP45 (The University of Petroleum) Yogyakarta. 

Kawasan kepulauan Nusantara, yang kini disebut Indonesia, sebenarnya pernah mengalami kemakmuran dan puncak kejayaan ekonomi di dunia, yaitu antara abad ke-12 M hingga ke-16 M. Dalam teori pentahapan perkembangan ekonomi, pada waktu itu Indonesia berada pada tahapkapitalisme perdagangan yang berpusat di kota-kota pelabuhan di sepanjang pesisir, baik di Jawa maupun pulau-pulau lain di luar Jawa, yang pada masa itu umumnya merupakan pemerintahan monarki yang mandiri. Sumber kemakmuran kawasan pada waktu itu adalah perdagangan komodti tanaman komersial, berupa tanaman komoditi rempah-rempah yang dibutuhkan oleh dunia (semisal migas sekarang), dan barang-barang kerajinan, baik produksi dalam maupun luar negeri. Perdagangan pada waktu itu dijalankan oleh kelas feodal. Sementara, perekonomian rakyat memproduksi bahan pangan dan komoditi perdagangan.
Struktur perekonomian pada waktu itu memang bercorak dualistis, namun tidak dikotomis, karena tidak ada kemiskinan massal, dimana kebutuhan dasar masyarakat pada dasarnya terpenuhi. Pada waktu itu stratifikasi sosial masih longgar. Berada di tingkat atas adalah kelas ulama dan pujangga, berada di tingkat kedua adalah kelas pemerintahan, di tingkat ketiga adalah kelas pedagang dan pengusaha, dan kelas paling bawah adalah petani dan pengrajin. Pada waktu itu sistem perbudakan masih berlaku, tapi tidak menonjol, sehingga ada juga lapisan under-classyang kecil. Kemakmuran itu ditandai oleh bentuk struktur sosial yang diagonal, dimana golongan menengah merupakan golongan yang paling dominan, sementara kelas elite dan budak merupakan minoritas.
Sistem itu pada abad ke-17 dirusak oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), sebuah perusahaan dagang besar yang mendapatkan hak-hak politik, seperti memiliki angkatan bersenjata, mengumumkan perang dan damai, serta melakukan kolonisasi. Dengan politik devide et impera (divide and rule), VOC menguasai kerajaan-kerajaan pribumi dan memaksa kerajaan-kerajaan feodal itu menyerahkan barang-barang dagangan mereka dalam genggaman monopoli. Sejak itu mulailah sistem eksploitasi terhadap petani dan buruh tani. Sementara itu VOC dalam perjalanannya telah berkembang menjadi sebuah perusahaan yang penuh korupsi, sesuatu yang pada akhirnya membangkrutkannya. Perusahaan tersebut akhirnya diambil alih oleh negara kolonial yang secara tidak langsung berada di bawah kendali kerajaan Perancis yang sedang dipimpin Napoleon Bonaparte (1769-1821). Pada masa itulah dimulai pembangunan sejumlah prasarana ekonomi, seperti jalan-jalan perdagangan, melalui sistem kerja paksa. Perekonomian koloni Hindia Belanda mengambil bentuk—meminjam istilah Max Weber—sebagai Kapitalisme Negara, atau Negara Merkantilisme Kolonial. Disebut Merkantilisme karena pada dasarnya praktik perekonomian kolonial itu bertujuan membangun kekayaan negara. Dalam merkantilisme kolonial ini yang kaya adalah negara penjajah, sementara rakyat dan bumi kepulauan Nusantara menjadi sasaran ekploitasi, di antaranya melalui sistem Tanam Paksa (1830-1870).
Secara umum kita bisa mengatakan bahwa kepulauan Nusantara merupakan perekonomian yang produktif, hanya saja hasil produksinya itu telah dialienasi dari masyarakatnya. Surplus ekonominya hanya dinikmati oleh pemerintahan kolonial asing. Karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa kepulauan Nusantara yang menjadi negara kolonial Hindia itu merupakan entitas ekonomi yang mampu berkembang, namun sistem ekonominya menyebabkan masyarakatnya miskin karena tertindas dan tereksploitasi.
Sistem Tanam Paksa dihentikan pada tahun 1870 dan diganti dengan sistem perekonomian liberal, dimana semua unsur dan kelompok masyarakat mendapat kebebasan untuk melakukan aktivitas ekonomi. Dalam iklim kebebasan, terutama kebebasan dalam pemilikan lahan pertanian, yang mampu tampil adalah kelompok pengusaha perkebunan, sementara rakyat yang telah jatuh miskin tidak mampu memiliki lahan pertanian dan hanya mampu menjadi penggarap. Mereka juga tidak memiliki modal, sehingga harus meminjam dari para rentenir dengan tingkat rente yang sangat tinggi. Karena itu maka rakyat pribumi hanya bisa mengerjakan lahan yang sempit yang terus-menerus mengalami fragmentasi melalui sistem pewarisan. Dengan lahan yang sempit itu mereka hanya mampu memproduksi hasil tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, sehingga sistem pertanian rakyat disebut sebagai sistem pertanian subsisten. Sementara itu, mereka yang tidak memiliki tanah atau lahan gurem terpaksa menjadi buruh tani. Di atas semua serba-kekurangan itu mereka masih harus membayar pajak kepada pemerintah kolonial.
Sistem liberal yang terus berlangsung hingga akhir pemerintahan kolonial tahun 1939, menghasilkan sistem ekonomi yang dualistis, yang intinya adalah sektor pertanian rakyat yang bersifat subsisten dan sektor perkebunan besar asing yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar asing yang memproduksi tanaman komersial untuk ekspor. Sistem perekonomian dualistis inilah yang diwariskan kepada negara Rapublik Indonesia sejak 1945.
Dalam pemikirannya mengenai sistem ekonomi bagi Indonesia, Mubyarto (1938-2005) memikirkan perlunya dibangun suatu sistem perekonomian nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang mengandung konstitusi ekonomi itu, yang dua dari lima cirinya adalah egalitarianisme dan nasionalisme. Sistem yang disebutnya Sistem Ekonomi Pancasila itu, dalam pandangan Mubyarto, memungkinkan Indonesia menjadi sebuah negara yang adil dan makmur. Namun masih menjadi pertanyaan besar, bagaimana negara yang adil dan makmur itu bisa dicapai?
Upaya untuk mencapai masyarakat adil dan makmur itu sudah dilakukan sejak awal kemerdekaan. Ketika itu pola pembangunannya mengarah kepada sosialisme, dimana peranan perusahaan-perusahaan asing digantikan oleh perusahaan-perusahaan negara di bidang perdagangan, perkebunan, pertambangan, transportasi dan perbankan. Pola ini berakhir pada tahun 1965, ketika inflasi melonjak hingga setinggi 650%. Lonjakan inflasi itu terjadi paling tidak karena dua hal, pertama karena negara mengadalkan pembiayaannya dengan mencetak uang; dan kedua karena negara terlalu banyak membiayai proyek-proyek politik sebagai simbol kejayaan bangsa. Menilai arah haluan negara pada waktu itu, Widjojo Nitisastro mengeluarkan pendapat dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di Fakultas Ekonomi UI pada tahun 1963, agar negara memperhatikan pembangunan ekonomi dengan melakukan perumusan kebijaksanaan ekonomi yang rasional. Peringatan ini sebelumnya sebenarnya telah dilakukan oleh Bung Hatta dalam berbagai kesempatan. Ia menganjurkan dihentikannya haluan revolusi untuk digantikan dengan haluan pembangunan ekonomi.
Upaya melaksanakan politik pembangunan ekonomi secara besar-besaran dimulai pada tahun 1967 oleh pemerintahan Orde Baru. Mirip dengan pergantian kebijaksanaan ekonomi liberal pada masa kolonial, pada tahun 1970-an Orde Baru juga melakukan liberalisasi ekonomi. Ciri utamanya adalah memberi kesempatan kepada sektor swasta, termasuk asing, untuk menjadi pelaku pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, pemerintah tidak meninggalkan sektor negara dan koperasi. Keduanya juga dibangun dengan dukungan anggaran yang besar. Dengan demikian maka kebijaksanaan ekonomi Orde Baru pada dasarnya bersifat dualistis, yang pada dasawarsa 1980-an menghasilkan dua sektor yang dikotomis, yaitu yang disebut oleh Mubyarto dan Kwik Kian Gie sebagai sektor konglomerat dan sektor ekonomi rakyat.
Dengan masuknya kekuatan swasta domestik dan asing maka Indonesia telah bangkit perekonomiannya melalui proses industrialisasi. Pada belahan abad ke-19, Hindia Belanda sebenarnya memiliki kesempatan untuk melakukan industrialisasi. Berbagai syarat telah dapat dipenuhi. Pertama adalah pembentukan modal yang berlangsung pada masa Tanam Paksa maupun masa liberal. Kedua adalah akses teknologi dengan terbangunnya ratusan ketel mesin tenaga uap. Ketika itu, dengan sektor pemimpinnya industri gula, Hindia Belanda bisa bersama-sama melakukan industrialisasi bersama-sama dengan Jepang. Namun dua syarat utama lain tidak ada pada waktu itu. Pertama tiadanya investasi walaupun ada sumber permodalannya. Ini terjadi karena sementara pembentukan modalnya terjadi di Hindia Belanda (Indonesia), tetapi investasinya terjadi di Belanda. Syarat kedua yang tidak terpenuhi adalah tidak adanyaentrepreneur di Hindia Belanda, sehingga, kata Boeke, tidak seperti halnya di Jepang, penduduk pribumi tidak melaksanakan sendiri pembangunan industrinya, melainkan dilakukan oleh orang Eropa.
Pada masa Orde Baru, dua syarat yang tidak terpenuhi pada belahan kedua abad ke-19 itu dipenuhi. Pertama, modal tersedia. Dua sumber utama adalah utang luar negeri dan penerimaan negara hasil eksploitasi minyak dan gas bumi. Kedua, pelaku industrialisasinya adalah pengusaha asing dan pengusaha domestik. Pelaku domestik itu ada dua kelompok. Pertama adalah kelompok perusahaan negara dan kedua adalah pengusaha keturunan etnis Tionghoa. Dari kelompok pribumi juga ada, tetapi terbatas jumlahnya. Kelompok pribumi pada dasarnya bergerak dalam sektor ekonomi rakyat skala mikro dan kecil.
Pada masa Orde Baru, perekonomian nasional memang telah memasuki tahap tinggal landas (take off), berdasarkan kriteria Rostow Investasi baik dari swasta maupun publik telah melebihi angka 10%. Sektor manufaktur juga berkembang dengan beberapa sektor yang memimpin. Pada dasarnya, pola industrialisasi di masa Orde Baru disebut sebagai industrialisasi substitusi impor (import substitution industrialization).
Namun pola industrialisasi ini mengandung beberapa masalah. Pertama, industrinya bukan mengolah bahan mentah dari Indonesia sendiri, melainkan mengolah bahan baku dan bahan penolong yang diimpor. Kedua, modalnya berasal dari luar, walaupun sebenarnya hanyalah modal pancingan saja karena modal kerja selanjutnya dipakai dari pinjaman bank yang menggali dari uang rakyat Indonesia juga. Ketiga, pelakunya adalah perusahaan-perusahaan asing sehingga keuntunganya lari keluar negeri lagi.
Sebenarnya pemerintah waktu itu sudah berusaha mengurangi ketergantungan dengan memproduksi bahan baku dan alat-alat secara domestik sehingga dibentuk kementerian penggunaan produk-produk dalam negeri di bawah Ginandjar Kartasasmita. Namun pada tahun 1980-an, dengan tekanan globalisasi pasar bebas, pemerintah melakukan politik liberalisasi tahap kedua, yaitu membebaskan industri untuk memakai bahan baku dan penolong impor jika lebih murah dan memenuhi standar mutu. Karena itu maka politik kemandirian ekonomi putus di tengah jalan.
Dalam rangka politik perekonomian yang nasionalis, pemerintah juga mengembangkan industri strategis di bidang transportasi darat, laut, dan udara yang memiliki pasar domestik yang luas yang dirumuskan oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi yang waktu itu dijabat B.J. Habibie. Gagasan pengembangan industri strategis itu kemudian bertransformasi menjadi strategi industrialisasi berbasis nilai tambah tinggi. Strategi ini didasarkan teori keunggulan kompetitif. Di bawah pimpinan Habibie keunggulan kompetitif itu dapat diraih sehingga memungkinkan Indonesia mengembangkan industri strategis.
Dalam rencana, dengan berkembangnya industri strategis ini, ekonomi rakyat bisa terangkat melalui peranannya sebagai vendor dengan memproduksi komponen dan suku cadang industri strategis, seperti kendaraan darat pribadi, penumpang dan angkutan barang, industri perkapalan dan industri dirgantara. Tapi strategi ini mendapat oposisi, karena dianggap melompat, mempergunakan teknologi super-canggih dan membutuhkan biaya investasi yang besar. Akhirnya industri transportasi yang berorienatasi pada pasar domestik maupun ekspor itu atas desakan IMF (International Monetary Fund) dan Bank Dunia dihentikan secara drastis dan pemerintahan di era reformasi tidak lagi memberikan dukungan politik. Sebenarnya industri stategis ini bisa menjadi kendaraan kebangkitan ekonomi bangsa yang sesuai dengan faktor geografi ekonomi Indonesia yang berada di tengah-tengah lalu lintas perdagangan regional dan internasional yang merupakan salah satu sumber akumulasi dan pembentukan modal.
Langkah penting lain yang telah dilakukan oleh pemerintah Orde Baru adalah pengembangan teknologi dan sumber daya manusia. Penelitian teknologi terutama teknologi tepat guna telah dilakukan di Badan Penelitian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), perguruan tinggi, dan berbagai lembaga penelitian. Sejalan dengan itu, pendidikan Indonesia telah banyak menghasilkan ilmuwan peneliti dan praktisi yang andal sejak dari peternakan lele hingga teknologi dirgantara dan kemudian teknologi informasi. Hanya saja, hasil kajian itu berhenti sebagai arsip dan tidak ditransformasi menjadi inovasi usaha.
Sungguhpun demikian, pemerintah Orde Baru telah meletakkan dasar-dasar kebangkitan ekonomi bangsa. Pertama, Indonesia telah membangun berbagai sektor industri yang berkelanjutan (sustainable). Kedua, telah terbangun kelembagaan ekonomi sebagai pelaku industrialisasi dan perkembangan ekonomi. Ketiga telah tersedia sumber daya manusia yang bisa berperan dalam berbagai fungsi perkembangan ekonomi. Keempat telah meningkatkan pendapatan masyarakat dan mengurangi kemiskinan, sehingga membentuk pasar domestik yang luas.
Namun beberapa kelemahan masih menghadang jalan menunju industrialisasi nasional. Pertamabelum tersedianya dana besar untuk investasi besar. Di bidang migas-pun, pelaku usahanya masih perusahaan-perusahaan multi-national (MNC) seperti Chepron, Exxon-Mobil, Caltex atau Total. Sedangkan perusahaan nasional masih bisa dihitung dengan jari tangan, misalnya Pertamina, Medco dan Bumi Resources. Kedua, masih adanya ketergantungan teknologi tinggi, dimana teknologi tinggi masih harus diimpor. Dan ketiga, produktivitas industri masih belum kompetitif dilihat dari masih tingginya harga produk yang tidak mampu bersaing dengan barang-barang dari Jepang atau Eropa-Amerika.
Kebangkitan ekonomi Indonesia memang harus ditempatkan pada perspektif komparatif. Pertama adalah persaingan dengan negara-negara kecil seperti Taiwan, Korea Selatan, dan Singapura. Kedua persaingan dengan negara-negara besar yang menjadi kekuatan dunia baru, yaitu Cina, India dan Brasil. Ketiga adalah persaingan di antara negara-negara ASEAN, yaitu Malaysia, Thailand, Filipina, dan bahkan juga dengan Vietnam yang dinamis itu.
Sebagai negara yang berbasis pertanian, Indonesia perlu membandingkan dirinya dengan Thailand dan Malaysia. Thailand sekarang sudah memasuki tahap negara industri baru. Tapi masuknya ke tahap industri itu didahului dengan perkembangan dan pembangunan pertanian. Salah satu keuntungan Thailand adalah tidak pernah menjadi negara jajahan sehingga bisa lebih independen (karena masih dipengaruhi oleh negara-negara tetangga jajahan) menentukan strategi pembangunan pertaniannya. Dalam kaitan ini Thailand menempuh strategi pembangunan yang berpijak pada dua kaki. Pertama adalah menjadi negara produsen bahan pertanian, khususnya beras, jagung ubi kayu, peternakan unggas (khususnya ayam) dan perikanan laut. Kedua, pengembangan pertanian perkebunan besar, khususnya karet. Meskipun demikian, orientasi pasar pertanian Thailand adalah pasar domestik maupun ekspor, misalnya beras, dimana Thailand adalah pengekspor beras dunia terkemuka. Haluan Thailand ini diikuti oleh Vietnam yang juga berhasil menjadi negara pengeskpor beras, termasuk ke Indonesia. Dalam strategi ini, ketahanan pangan dicapai tetapi sekaligus pangan menjadi tanaman komersial (commercial crop). Indonesia sendiri pada masa lalu pernah menjadi negara pengekspor beras dunia. Raja Mataram Amangkurat II, dalam rangka menjaga ketahanan pangan domestik pernah melarang ekspor beras. Kebangkitan ekonomi Thailand sebenarnya berbasis pada dua sektor utama, yaitu karet dan perikanan skala besar yang menghasilkan devisa besar, sehingga menjadi sumber akumulasi modal. Salah satu strategi pembangunan pertanian di Thailand dewasa ini adalah dengan menerapkan sistem agribisnis. Misalnya Thailand membuka perkebunan singkong yang luas dalam rangka mendukung industri pengolahan pangan yang membentuk nilai tambah bagi sektor pertanian dan petani. Strategi lainnya adalah mengorientasikan produk pertanian, pangan maupun perkebunan, ke pasar ekspor yang menghasilkan devisa. Dengan basis pembangunan pertanian ini, Thailand kemudian mengembangkan industrinya, misalnya yang menonjol adalah industri tekstil yang dipasarkan di antara rakyat petani maupun penduduk kota. Industri di Thailand cukup kompetitif karena kebutuhan pokok masyarakat, khususnya pangan, terpenuhi.
Atas dasar pertanian dan industri, Thailand kemudian membangun sektor pariwisata. Salah satu kekuatan sektor pariwisata yang berbasis budaya itu (dengan candi-candi Buddha yang megah) adalah industri kuliner yang unggul yang mengolah hasil-hasil pertanian darat dan perikanan. Berbasis pariwisata itu, dengan memanfaatkan lokasi Thailand yang menghubungkan negara-negara Timur Tengah dengan Asia Timur dan Tenggara. Dalam kaitan ini Thailand mengembangkan industri transportasi udara, Thai Air, yang unggul dan kedua terbaik di dunia sesudah Singapore Airlines. Dengan modal itulah Thailand memantapkan diri menjadi negara industru baru yang sedang berkembang (newly industrializing country) di Asia Tenggara.
Malaysia pada dasarnya menempuh strategi berpijak pada dua kaki yang serupa dengan Thailand. Namun Malaysia lebih menonjol usaha perkebunan besarnya, terutama di bidang kelapa sawit yang langsung dilanjutkan dengan industri pengolahannya. Di samping minyak goreng, bahan kelapa sawit juga dibuat industri sabut sebagai bahan industri. Langkah strategis yang dilakukan oleh Malaysia adalah menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing dan sahamnya kemudian dijual kepada kelompok pribumi Melayu yang besarnya 40% dari penduduk seluruhnya, sehingga meningkat bagian pendapatannya dari 6% pada tahun 1969 menjadi 30% dari pendapatan nasionalnya (Gross National Income) pada dasawartsa 1980-an. Di samping itu Malaysia juga mengembangkan sektor keuangannya melalui sistem perbankan dan keuangan Islam dan memanfaatkan dana Timur Tengah. Di samping itu sebagai negara yang memiliki tambang migas, telah berhasil pula mengembangkan industri migas, terutama melalui Petronas. Malaysia juga berhasil membentuk modal dari tabungan haji yang menjadi basis perbankan dan keuangan Islam. Dengan modal yang terakumulasi itu, Malaysia memiliki sumber investasi bagi industrinya. Malaysia berhasil mengembangkan industri manufaktur dan juga industri transportasi darat melalui kerja sama dengan perusahaan mobil Korea Selatan. Malaysia dewasa ini juga sedang menggolongkan dirinya sebagai negara industri baru yang sedang berkembang di Asia Tenggara, menyusul Singapura.
Dalam pembangunan ekonomi, Indonesia bisa pula menengok Taiwan yang mengembangkan usaha skala kecil di bidang pertanian dan industri. Strategi yang ditempuh Taiwan adalah meningkatkan penggunaan teknologi di bidang pertanian sejak dari pembibitan hingga pengolahan hasil pertanian yang juga berorientasi ke pasar ekspor. Di samping itu pola industrialisasinya adalah industri skala kecil dan menengah yang berorientasi ekspor. Di samping memproduksi barang konsumsi Taiwan juga menghasilkan barang-barang modal, khususnya teknologi sederhana yang banyak dipakai di negara-negara sedang berkembang.
Selama Orde Baru, perekonomian Indonesia sebenarnya juga sudah mengalami kebangkitan, baik melalui sektor pertanian maupun industri. Selama tiga dasawarsa perekonomian Indonesia telah berhasil tumbuh rata-rata 7% per tahun. Bank Dunia pernah menyebut Indonesia sebagai salah satu “keajaiban ekonomi” (economic miracle). Di bidang pertanian, Indonesia pernah mencapai tahap swasembada pangan pada tahun 1985, dan dalam pengendalian penduduk Indonesia pernah mendapatkan penghargaan internasional. Prestasi lain adalah menurunkan angka kemiskinan dari sekitar 60% pada tahun 1970-an menjadi sekitar 11% pada akhir dasawarsa 1990-an. Namun Indonesia masih berada di buritan jika dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan bahkan jika dibandingkan dengan Vietnam yang kini kian berkembang pesat.
Namun keberhasilan perkembangan ekonomi Indonesia di masa lalu mengandung banyak catatan. Pertama, Indonesia menjadi salah satu negara pengutang terbesar di dunia yang sekarang pembayarannya memberikan beban yang sangat berat pada APBN. Kedua, Indonesia mengalami kerusakan yang berat dalam lingkungan hidup (khususnya di bidang kehutanan), dan terkurasnya sumber migas, sehingga Indonesia sudah menjadi negara net-importer minyak bumi, walaupun masih bisa mengekspor gas. Ketiga, secara ironis Indonesia masih mengimpor bahan pangan seperti beras, jagung, kedelai, singkong, kedelai, gula dan susu. Keempat, di bidang industri Indonesia masih mengimpor teknologi dan bahan baku dan belum mampu mengolah banyak hasil pertanian, kelautan dan kehutanannya sendiri. Dengan perkataan lain, Indonesia masih menjadi eksportir bahan mentah dengan nilai tambah rendah. Kelima, Indonesia belum mampu melaksanakan konstitusi yang mengamanatkan koperasi sebagai soko-guru perekonomian. Dan keenam, perekonomian Indonesia pada dasarnya masih bersifat dualistis yang antagonistis antara sektor konglomerat dan ekonomi rakyat yang mendominasi struktur perekonomian nasional.
Dengan demikian, pembangunan telah menimbulkan masalah-masalah baru yang harus diatasi sebelum bisa mengalami kebangkitan. Pertama, Indonesia harus bisa melepaskan diri dari ketergantungan dan beban utang luar negeri. Jika belum maka peranan negara sebagai bagian utama pembangunan akan mengalami banyak hambatan dalam melakukan transformasi perekonomian. Mengatasi masalah utang ini tidak mudah, karena akan menguras hasil pajak dan penerimaan negara, padahal Indonesia sudah kehilangan sumber devisa dan di lain pihak menghapus defisit dalam APBN.
Kedua, Indonesia harus memulihkan sumber daya alamnya dari kerusakan besar yang telah terjadi. Hutan tropis harus direboisasi. Untuk menghentikan abrasi pantai dan melestarikan sumber daya biota laut, hutan mangrove harus direhabilitasi dan dipelihara, terumbu karang harus direhabilitasi, dilindungi dan dipelihara untuk kelestarian biota laut. Eksploitasi tambang energi yang sudah kritis harus digantikan dengan pengolahan energi alternatif terutama dari pertanian. Dengan demikian, maka lingkungan hidup menjadi agenda pembangunan utama yang harus diprioritaskan.
Ketiga, Indonesia harus mencapai swasembaga pangan dan pertanian, semua bahan impor yang dapat diproduksi sendiri harus diproduksi sendiri sehingga tidak pelu mengimpor lagi, karena impor bahan pertanian ini menghabiskan devisa. Bahan pangan impor ini jelas merupakan ceruk pasar, sehingga kegiatan produksi untuk pemenuhan kebutuhan sendiri memiki potensi pasar dan mengandung nilai komersial.
Di sini, produksi untuk pemenuhan kebutuhan sendiri tidak bertentangan dengan produksi untuk pasar.
Keempat, Indonesia harus memulai produksi barang modal, berupa mesin-mesin, alat-alat, bahan baku dan penolong industri. Program pemakaian produk dalam negeri harus digalakkan. Demikian pula Indonesia harus mengolah bahan dari sumber alam, seperti pertanian, perkebunan, kelautan, kehutanan dan pertambangan. Proses ini perlu dilakukan untuk menciptakan nilai tambah. Indonesia harus berhenti menjadi pengekspor bahan mentah dan harus memulai dengan mengekspor barang jadi yang telah diolah, misalnya rotan. Adalah suatu ironi bahwa Cina yang mengimpor bahan mentah rotan dari Indonesia, menjadi pusat unggulan barang-barang dari rotan.
Kelima, pemerintah harus melanjutkan pembangunan koperasi yang telah dimulai pada masa Orde Baru. Indonesia memiliki jumlah koperasi yang sangat besar, namun hingga kini belum ada koperasi yang dapat digolongkan sebagai koperasi Global 300 ICA (International Cooperative Alliance), dengan nilai aset minimal US$ 6,5 miliar. Bahkan belum juga ada yang tergolongGlobal Developing Cooperative 300, padahal koperasi dari negara yang jauh lebih kecil, misalnya Kosta Rika, Kolombia, Kenya, Korea Selatan, bahkan Vietnam dan Thailand telah masuk dalam daftar ini. Pembangunan koperasi harus merupakan prioritas karena merupakan amanat konstitusi. Pembangunan koperasi itu sekaligus juga merupakan pembangunan usaha mikro, kecil dan menengah.
Keenam, mengikuti Taiwan dan Cina, Indonesia harus membangun usaha mikro, kecil dan menengah dalam kerangka koperasi, sehingga merupakan soko guru perekonomian Indonesia yang akan membentuk masyarakat belah ketupat yang didominasi oleh golongan menengah. Ini berarti mengintegrasikan perekonomian yang dualistis.
Dengan demikian, maka sebelum bisa mengalami kebangkitan ekonomi dalam kancah global, diperlukan masa transisi. Masa transisi ini adalah kemandirian ekonomi nasional. Rostow dalam teorinya mengenai tahap-tahap pertumbuhan ekonomi (stages of economic growth), masyaratkan tiga faktor utama ke arah tinggal landas. Pertama adalah ketersediaan modal dan kesiapan investasi sebesar 10% dari GNI. Kedua, ketersediaan wirausaha yang disyaratkan oleh McClelland sebesar 2% dari jumlah penduduk. Jika penduduk Indonesia diperkirakan 250 juta, maka diperlukan 5 juta wiraswasta. Ada dua macam wirausaha. Pertama yang berasal dari pemilik modal yang berani mengambil risiko berusaha. Kepemilikan modal ini bisa diakses dari dana pinjaman, sehingga karena itu perlu diperhitungkan lembaga-lembaga keuangan dan perbankan yang menghimpun modal. Kedua adalah mereka yang memiliki keterampilan teknis atau mampu melaksanakan suatu penemuan teknologi. Dewasa ini sebenarnya telah banyak temuan-temuan teknologi. Sebagai intermediasi antara wirausaha dan sumber modal dan teknologi, diperlukan peranan antara yang disebut wiraswasta sosial (social entrepreneur). Faktor ketiga adalah kesediaan untuk memanfaatkan hasil ilmu pengetahuan dan teknologi, atau kalau dibalik, aliran informasi ilmu pengetahuan dan teknologi kepada masyarakat. Di Indonesia aliran informasi ini masih sangat kurang. Hasil penelitian teknologi masih banyak yang tersimpan dalam arsip dan tidak disebarkan kepada masyarakat untuk dimanfaatkan.
Dalam teorinya, Rostow pertama-tama menyebut tahap tradisional. Rostow tidak banyak berbicara mengenai masyarakat tradisional ini. Kondisi tradisional ini dibahas oleh Boeke dalam analisisnya mengenai masyarakat pra-kapitalis. Namun Boeke menganggap bahwa masyarakat pra-kapitalis Hindia Belanda itu sebagai kondisi asli dan bukannya sebagai hasil atau dampak suatu perkembangan. Karena itu perlu dilakukan wacana mengenai sebab-sebab kondisi pra-kapitalis itu yang berarti menguraikan faktor-faktor struktural yang menghambat perkembangannya.
Kondisi kekurangan modal seperti yang disebut dalam teori lingkaran kemiskinan Ragnar Nurkse perlu diselidiki sebab-sebabnya. Di Indonesia yang agraris, sebab kemiskinan pertama-tama adalah sempitnya pemilikan tanah. Seharusnya setiap keluarga petani bisa memiliiki minimal 2 hektar lahan garapan. Tapi Indonesia memerlukan pembaharuan agraria (agrarian reform) untuk menata ulang kepemilikan lahan. Kedua adalah terbelakangnya teknologi produksi. Dengan perkataan lain, diperlukan usaha peningkatan produktivitas lahan per hektar. Dalam hal ini Indonesia masih jauh ketinggalan dari negara-negara pertanian lainnya. Ketiga adalah masih kecilnya nilai tambah pertanian, karena hasil pertanian belum dijual dalam bentuk olahan. Oleh sebab itu sumber akumulasi modal itu harus dikembangkan, agar pertanian menjadi sumber pembentukan dan akumulasi modal. Selanjutnya perlu dikembangkan lebih lanjut lembaga-lembaga keuangan, guna membentuk modal besar yang bisa dipinjamkan kepada masyarakat untuk menunjang investasi.
Sebenarnya Indonesia pada masa Orde Baru sudah memenuhi syarat ketersediaan modal dan investasi Rostow. Hanya saja modal itu diperoleh dari pinjaman luar negeri dan modal asing. Di masa datang modal itu harus digali dari sumber domestik sendiri, lewat peningkatan pendapatan masyarakat dan pemberantasan kemiskinan.
Dalam proses pembentukan dan akumulasi modal ini, Indonesia harus belajar dari sejarahnya sendiri dan pengalaman negara lain. Di masa lalu, negara-negara kapitalis maju telah mengalami proses pembentukan dan akumulasi modal lewat eksploitasi sumber daya alam dan manusia yang sering tidak manusiawi. Indonesia pernah mengalami masa VOC, Tanam Paksa, dan Kebijaksanaan Liberal dalam kerangka kolonialisme. Cara itu tidak bisa diulang, sehingga harus dicari cara-cara lain. Cara-cara baru itu sudah dicontohkan oleh negera-negara lain, misalnya Taiwan, Thailand atau Malaysia, yaitu dengan mengembangkan sektor pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam secara canggih dan berkelanjutan. Teknik-teknik itu masih bisa diperbaiki lagi berkat temuan-temuan baru. Namun pada dasarnya pola pembangunan yang dilaksanakan berpijak pada dua kaki, pertama pola swasembada dan kedua adalah pola komersial yang dilakukan bersama-sama secara seimbang dan tidak bertentangan. Pada dasarnya pembangunan pertanian itu harus dikaitkan dengan pembangunan lingkungan hidup yang merupakan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).
Berdasarkan preseden perkembangan ekonomi, pengembangan ekonomi berpola swasembada itu dilakukan melalui sistem ekonomi kerakyatan dalam bentuk pertanian rakyat, perikanan rakyat dan kehutanan rakyat dalam wadah koperasi. Sektor ini merupakan sokoguru perekonomian. Sedangkan pengembangan sektor pertanian skala besar atau perkebunan harus dilakukan oleh BUMN dan swasta besar yang bekerja sama dengan koperasi dalam bentuk perkebunan Inti-Rakyat yang didasarkan pada prinsip partisipasi dan emansipasi, seperti dirumuskan oleh Sri-Edi Swasono, yang mengoreksi sistem mobilisasi yang mengandung unsur eksploitasi dan dominasi yang masih berlaku itu.
Ekonomi perkebunan merupakan sumber akumulasi modal yang sangat berpotensi. Dewasa ini, perkebunan kelapa sawit merupakan penghasil kebutuhan pangan yang sekaligus merupakan tanaman yang komersial, lebih-lebih jika didukung dengan industri pengolahan. Dewasa ini perkebunan belum seimbang dengan industri pengolahan, sehingga banyak hasil perkebunan rakyat yang harganya jatuh karena tidak ada pembelinya. Pembeli hasil kelapa sawit bukan konsumen langsung, melainkan pembeli institusional, yaitu sektor industri. Karena itu harus ada industri pengolahan yang terpisah maupun merupakan bagian hilir dari perkebunan. Pola ini bisa dikembangkan lebih lanjut, misalnya dengan pengembangan perkebunan enerji yang berbahan pohon enau atau ubi kayu. Pohon enau dapat pula berfungsi sebagai pohon konservasi air dan tanah yang bisa ditumpang sari dengan tanaman lain.
Pada dasarnya pembangunan pertanian dilakukan dalam rangka mencapai perekonomian swasembada dan mandiri serta merupakan tulang punggung industrialisasi. Kemakmuran petani akan membentuk pasar untuk hasil produksi. Sedangkan nilai tambah pertanian akan merupakan sumber modal dan investasi skala besar. Kebangkitan ekonomi Indonesia akan terjadi jika telah berlangsung industrialisasi yang merupakan tinggal landas perekonomian dengan basis pertanian dan pasar domestik yang kuat.
Sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lain adalah pariwisata. Indonesia memiliki potensi pariwisata darat dan laut yang sangat potensial. Sektor pariwisata domestik maupun mancanegara mampu menciptakan lapangan kerja dan lapangan usaha dan sekaligus juga menghasilkan devisa yanmg sangat potensial. Potensi pariwisata ini tersebar di seluruh Indonesia, sehingga menimbulkan transportasi antar-pulau. Di samping pesisir, pula-pulau kecil berpasir putih merupakan obyek kunjungan wisata yang menarik, baik domestik maupun mancanegara. Masalahnya adalah memenuhi komponen-komponen wiraswasta, seperti obyek wisata, perhotelan dan penginapan, restoran atau industri kuliner, seni budaya atau kerajinan souvenier.
Ringkasnya, dengan mengawinkan pembangunan swasembada dan komersial, Indonesia bisa menggapai kebangkitan ekonomi secara lebih sempurna. Tinggal pertanyaannya kini adalah: apakah kita memiliki karsa kebangkitan itu? Dan seberapa besar karsa itu telah mengatur keputusan-keputusan kita terkait pengelolaan ekonomi bangsa?

*) Makalah disampaikan pada Seminar KAGAMA dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional, Mei 2011


MARHAENISME

Rektor UP45
M. Dawam Rahardjo (Rektor Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta)
Marhaenisme sebenarnya telah muncul kembali melalui sebuah partai politik peserta pemilihan umum: Partai Nasional Indonesia (PNI)-Front Marhaen. Tapi hal itu belum menjadi persoalan, sampai Presiden B.J. Habibie berbicara tentang bahaya “Komas”, singkatan dari komunisme, marhaenisme, dan sosialisme. Di situ, marhaenisme tidak saja dikaitkan dengan sosialisme, tetapi juga komunisme. Karena itulah Prof. Ismail Suny mengingatkan kembali rumusan marhaenisme menurut penemunya, Soekarno. Rumusan itu menyebutkan bahwa “Marhaenisme adalah sosialisme yang diterapkan menurut kondisi Indonesia.”

Ternyata, marhaenisme juga tercantum dalam Dictionary of the Modern Politics of South-East Asia (1995), karya Michael Laifer. Di situ dinyatakan bahwa marhaenisme diperhatikan kembali sebagai ideologi politik karena pidato Presiden Soekarno di Bandung, pada 3 Juli 1957. Sedangkan Ensiklopedi Indonesia menyebutkan bahwa marhaenisme adalah ideologi yang dikembangkan oleh Ir. Soekarno sebagai ideologi PNI-Lama (1927-1931) dan kemudian ditetapkan sebagai asas resmi PNI dalam manifes Kongres PNI ke-6 di Surabaya, pada 1952.

Ensiklopedi Indonesia tidak menyebutkan adanya kaitan antara marhaenisme dan marxisme. Tapi dalam ensiklopedi karya Laifer itu, marhaenisme disebut sebagai salah satu varian marxisme. Dan yang lebih menarik bahwa di samping varian, marhaenisme juga merupakan alternatif terhadap marxisme. Dalam interpretasi itu terkandung adanya penolakan, paling tidak kritik terhadap marxisme. Pada 1945, Bung Karno “menggali” Pancasila sebagai ideologi politik. Dalam Pancasila, Bung Karno juga sekaligus menolak komunisme dan kapitalisme serta mentransendensikan (hogeroptrecking) dua ideologi menjadi sebuah ideologi alternatif. Dua versi gagasan itu bukannya tidak membingungkan, tetapi kebingungan itu dipecahkan oleh para pengikutnya dengan mengidentikkan marhaenisme dengan Pancasila.

Identifikasi itu sebenarnya logis saja, karena Bung Karno pernah menjelaskan kedua ideologi itu dengan teorinya mengenai trilogi: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dasar pemikirannya adalah secara sosiologis teori mengenai proletariat yang dikembangkan oleh Marx tidak cocok untuk kondisi Indonesia. Kehadiran kaum proletar di Indonesia tidak menonjol. Di negeri ini yang paling banyak adalah “rakyat kecil” yang disebutnya kaum Marhaen. Jika proletar adalah kelas yang tidak punya hak milik (unpropertied class), kaum Marhaen adalah kelas yang masih punya hak milik (propertied class), tetapi serba sedikit, akibat eksploitasi kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme.

Teori Bung Karno itu cukup sahih. Sebenarnya marhaenisme mirip dengan maoisme. Baik Soekarno maupun Mao Ze Dong mengkritik marxisme. Keduanya memandang masyarakat mereka sebagai masyarakat kaum petani. Karena itu penyadaran kaum tani sebagai kelas proletar adalah keliru. Kekeliruan inilah yang terjadi pada Partai Komunis Indonesia, yang mendasarkan diri pada perjuangan kelas serta berbasis dan dipimpin oleh kelas proletar. Padahal, proses industrialisasi belum terjadi di Indonesia. Karena itu, kelas buruh, apalagi yang memiliki kesadaran kelas, belum nyata kehadirannya.

Marhaenisme, sebagaimana dikatakan oleh Laifer, adalah sebuah ideologi alternatif. Dengan teori sosio-nasionalisme, marhaenisme adalah sebuah aliran kebangsaan berdasarkan kondisi empiris masyarakat Indonesia, yang bukan saja terdiri dari kaum petani, tetapi juga merupakan gambaran dari masyarakat multietnis dan multibudaya. Dengan teori sosio-demokrasi, marhaenisme bukan saja menyatakan dirinya sebagai suatu jenis sosialisme, tetapi sosialisme yang juga menganut demokrasi. Boleh dikatakan, marhaenisme adalah interpretasi orang Indonesia mengenai paham sosialisme-demokrasi. Lagi pula, sosialisme ala Indonesia itu bukan hanya marxisme, tetapi juga, menurut Bung Hatta, merujuk pada ajaran Islam dan nilai-nilai tradisional Indonesia. Dan yang terpenting adalah marhenisme menolak ateisme, karena, menurut Bung Karno, marhaenisme itu mendasarkan diri pada kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Dewasa ini, di tingkat global, terdapat dua ideologi yang dominan dan bersaing, tetapi menimbulkan kesan yang berbeda. Di satu pihak ada kesan kuat bahwa ideologi kapitalisme-demokrasi yang “menang”, terbukti dari proses liberalisasi perekonomian dunia. Tapi kenyataan lain juga menunjukkan bahwa partai politik yang memerintah di negara-negara industri maju ternyata adalah partai yang berhaluan sosialisme-demokrasi. Sebagaimana di Indonesia, kebijakan politik cenderung liberal, tetapi yang menang dalam pemilu adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan yang mempunyai citra kerakyatan dan partai wong cilik.

Kini, memang belum jelas apa sebenarnya dasar ideologis PDI Perjuangan. Cuma, PDI Perjuangan berpotensi besar untuk mengembangkan ideologi sosialisme-demokrasi, mengingat komponen politik partai ini adalah Partai Nasional Indonesia dan Megawati adalah putri Bung Karno.

Kehadiran marhaenisme pantas dicatat dalam sejarah pemikiran sebagai suatu ide besar dari Soekarno. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Juwono Sudarsono, sendiri mengatakan bahwa marhenisme cukup sah sebagai bagian dari ilmu pengetahuan. Cuma, marhaenisme tidak memiliki pemikir yang mengembangkannya lebih lanjut sebagai teori sosial. Tidak seperti pemikiran Hatta yang masih dikembangkan oleh Mubyarto, Sri Edi Swasono, dan Sritua Arief.

Dengan terbitnya buku The Third Way-karya Anthony Giddens, sosiolog besar abad ini-yang menjadi ideologi Tony Blair, Perdana Menteri Inggris, marhaenisme merupakan pemikiran yang paling potensial mendekati gagasan dalam The Third Way. Barangkali marhaenisme digabung dengan pemikiran Hatta bisa menjadi sebuah konsep semacam The Third Way yang menjelaskan Pancasila sebagai ideologi alternatif yang bercorak sosialisme-demokrasi.

*) Pernah dimuat di Majalah TEMPO, No. 18/XXVIII, 4-11 Juli 1999

DAWAM DAN CITRA MUHAMMADIYAH YANG HILANG

Oleh: Luthfi Assyaukanie.

Pemecatan M. Dawam Rahardjo dari keanggotaannya di Muhammadiyah menambah satu lagi catatan buruk sejarah kontemporer Muhammadiyah. Pemecatan ini merupakan kulminasi dari proses puritanisasi yang terjadi dalam tubuh Muhammadiyah sejak dua tahun terakhir. Benar bahwa ada sebagian pemimpin organisasi ini yang cukup progresif dan liberal, seperti Ahmad Syafii Maarif, Dawam Rahardjo, dan Amien Abdullah, tapi keberadaan mereka tertutupi dengan banyaknya kaum puritan non-liberal yang menguasai cabang-cabang dan ranting-ranting.

Pemecatan M. Dawam Rahardjo dari keanggotaannya di Muhammadiyah menambah satu lagi catatan buruk sejarah kontemporer Muhammadiyah. Pemecatan ini merupakan kulminasi dari proses puritanisasi yang terjadi dalam tubuh Muhammadiyah sejak dua tahun terakhir. Sebagian orang menganggap bahwa radikalisasi --atau puritanisasi-- dalam Muhammadiyah terjadi sejak Dien Syamsuddin memimpin organisasi Islam terbesar kedua setelah NU itu. Tapi ada yang mengatakan bahwa naiknya Dien justru merupakan konsekwensi dari kecenderungan puritanis dalam Muhammadiyah belakangan ini. Dien hanyalah seorang “pemanfaat” situasi yang kebetulan disukai oleh kaum puritanis itu.

Saya lebih cenderung pada pendapat kedua. Dien yang saya kenal, bukanlah seorang yang kaku dan radikal dalam menyikapi sesuatu. Sebaliknya, dia adalah seorang yang lentur, jenius dalam berpolitik, dan pandai mengambil manfaat dan kesempatan. Kita tahu, Dien adalah seoang lulusan IAIN yang belajar di Barat. Ia mengambil kajian pemikiran politik, pernah menjabat sebagai pengurus Golkar, pernah dekat dengan kelompok tentara dan Prabowo, pernah menjadi Dirjen tenaga kerja, dan menjadi pengurus ICMI. Dien bukanlah tipikal orang “radikal” seperti Abu Bakar Baashir atau Habib Rizieq Shihab. Tapi, Dien adalah seorang pemanfaat yang baik dan cerdas.

Dengan demikian, Muhammadiyah menjadi semakin puritan jelas bukan karena Dien, tapi karena massa mayoritas organisasi itu menghendaki dan mewarnainya demikian. Saya masih ingat ketika mendapat undangan berbicara di depan ratusan pemimpin cabang Muhammadiyah beberapa tahun lalu. Aura puritanisme jelas sekali memancar dalam ruang diskusi yang kurang bersahabat pada apa yang saya lontarkan. Padahal, ketika itu, saya hanya ingin mengatakan bahwa K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, meruapakan seorang ulama dan intelektual yang cukup toleran dan terbuka dengan perkembangan pemikiran Islam.

Muhammadiyah memang sedang mengalami kemunduran serius. Bukan karena masuknya Dien Syamsuddin, tapi karena semangat puritan yang diusung oleh para pemimpinnya, khususnya di tingkat-tingkat cabang. Benar bahwa ada sebagian pemimpin organisasi ini yang cukup progresif dan liberal, seperti Ahmad Syafii Maarif, Dawam Rahardjo, dan Amien Abdullah, tapi keberadaan mereka tertutupi dengan banyaknya kaum puritan non-liberal yang menguasai cabang-cabang dan ranting-ranting.

Demokrasi adalah resep yang buruk buat sebuah masyarakat yang tak liberal. Apa yang berlaku dalam Muhammadiyah jelas merefleksikan kaedah ini. Pemilihan ketua Muhammadiyah tahun lalu akhirnya menghasilkan apa yang oleh Fareed Zakaria disebut “illiberal democracy.” Pemilihan proseduralnya sendiri dilakukan secara demokratis, tapi elemen-elemen yang terlibat dalam pemilihan itu, sebagain besar adalah orang-orang yang tak-liberal.

Perkembangan mutakhir Muhammadiyah memang cukup mengkhawatirkan. Muhammadiyah adalah sebuah organisasi reformis yang memiliki misi pembaruan pemikiran keagamaan. Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912, ketika semangat pembaruan keagamaan mendominasi hampir seluruh gerakan kebangkitan Islam.

Gerakan kebangkitan Islam, pada mulanya bersifat reformis, dalam pengertian bahwa ia mengusung ide-ide pembaruan keagamaan. Sejarah kebangkitan Islam di Indonesia bermula dari Minangkabau, ketika para intelektual muslim yang belajar di Mekah dan Cairo kembali ke kampung halaman mereka dan menyebarkan semangat dan gagasan-gagasan reformasi Islam. Di Sumatra, penyebaran semangat dan gagasan itu dilakukan lewat sekolah-sekolah seperti Adabiyah, Surau Jembatan Besi, dan Thawalib, sementara di Jawa, dilakukan lewat organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah, Jami’at Khayr, dan al-Irsyad.

Corak dan karakter pemikiran keagamaan Muhammadiyah, pada mulanya bersifat pembaruan (reformis). Karena corak dan karakter inilah, Muhammadiyah dengan cepat menyebar dan dengan mudah dapat diterima di Sumatera Barat. Bahkan Sumatera Barat sampai kini menjadi wilayah terbesar pengikut Muhammadiyah di luar Jawa.

Sejarah Muhammadiyah selalu mengalami pasang-surut. Pada awal tahun 1970-an, organisasi ini memainkan peran cukup penting dalam membantu pemerintah melancarkan proyek modernisasi dan pembangunan. Generasi muda Muhammadiyah pada saat itu juga memainkan peran yang tak kalah pentingnya. Diskusi-diskusi pemikiran di kalangan anak-anak muda Muhammadiyah tumbuh subur. Salah satu gerakan penting pembaruan Islam tahun 1970-an adalah “Limited Group” sebuah kelompok diskusi yang dimotori, salah satunya, oleh Dawam Rahardjo.


Peran Dawam Rahardjo sangat besar dalam meneruskan cita-cita pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Sama seperti Nurcholish Madjid di Jakarta, Dawam melakukan pembaruan Islam dari Yogyakarta. Bagi orang-orang di luar Muhammadiyah, Dawam merupakan tokoh yang menetralkan citra Muhammadiyah dari kecenderungan puritannya. Karena itu, saya menganggap sebuah kebodohan dan kesalahan besar telah dilakukan para pengurus Muhammadiyah yang dengan semena-mena telah memecatnya. [Sumber: Klik disini..]

ATHEIS

ilustrasi
*Oleh: M. Dawam Rahadjo, Cerpen ini dimuat di Media Indonesia, Edisi 09 Februari 2007 

KAKAK kami Suparman kini tinggal di Jakarta menjelang masa pensiun. Tapi ia tidak terikat. Karena ia mengelola sebuah perusahaan konsultan sendiri, dengan karyawan sekitar 50 orang. Ia adalah seorang arsitek lulusan ITB. Setelah lulus, ia melamar sebagai arsitek di sebuah perusahaan. Setelah mendapatkan pengalaman, ia mendirikan perusahaan sendiri bersama beberapa orang kawannya. Usahanya ini boleh dikatakan maju, berkat kegiatan pembangunan di Ibu Kota.

Kakak kami itu ialah saudara tertua dalam keluarga kami yang tinggal di sebuah desa bernama Jatiwarno di Wonogiri. Sekitar 30 kilometer dari Kota Solo. Daerah tempat tinggal kami itu dikenal kering. Dulu sering kali menjadi berita di koran karena kelaparan. Di zaman kolonial pernah terjadi busung lapar. Kini Wonogiri tidak lagi kering seperti dulu karena di situ dibangun waduk Gajah Mungkur. Sekarang sudah ada ladang-ladang ubi kayu dan jagung selain sawah padi. Waduk ini juga menjadi pusat pariwisata yang dikunjungi terutama oleh orang-orang Solo. Keluarga kami, keluarga Parto Sentono lebih populer dipanggil Kiai Parto adalah sebuah keluarga yang religius. Ayah kami itu adalah seorang petani yang juga berperan sebagai ulama lokal karena ia adalah santri lulusan Mamba’ul Ulum dan tinggal di pesantren Jamsaren. Jadi ia pernah berguru kepada KH Abu Amar, Ulama Solo yang masyhur itu. Itulah sebabnya Kiai Parto mengirim kami, anak-anaknya, ke pesantren sebagai lembaga pendidikan.

Mas Parman sebagai anak tertua dikirim ke Gontor Ponorogo yang jaraknya tidak jauh dari desa kami. Kakak saya yang kedua Muhammad Ikhsan dipondokkan ke Pesantren Pabelan di bawah pimpinan Kiai Haji Hamam Ja’far. Saya sendiri sebagai anak ketiga cukup bersekolah di Madrasah Al-Islam, Honggowongso, Solo. Jadi saya punya dua orang adik. Yang pertama, dikirim ke Tebu Ireng, sedangkan adik saya yang paling bontot disuruh belajar ke madrasah Mu’alimat Muhammadiyah, Yogyakarta.

Walaupun semuanya berlatar belakang pendidikan pesantren, kami semua mempunyai profesi yang berbeda-beda, misalnya Mas Parman menjadi seorang arsitek, sedangkan saya sendiri menjadi petani jagung dan ubi kayu meneruskan pekerjaan bapak. Karena itulah, saya adalah anak yang paling dekat dengan keluarga dan menyelenggarakan pertemuan halalbihalal setiap tahun dengan keluarga.

Bapak merasa sangat bangga anaknya bisa masuk ke pondok modern Gontor. Mas Parman sendiri juga merasa mantap berguru dengan Kiai Zarkasi dan Kiai Sahal. Di masa sekolah dasar, kami semua dididik langsung oleh bapak kami. Mas Parman ternyata berhasil menjadi seorang santri yang cerdas. Bapak sangat berharap kelak Mas Parman menjadi seorang ulama modern. Bapak memang tidak mengikuti perkembangan anaknya itu sehingga ia merasa terkejut ketika pada suatu hari ia berkunjung ke Gontor, anaknya itu ternyata sudah tidak lagi bersekolah di situ. Namun sebentar kemudian, ia mendengar di mana anaknya berada. Ternyata Mas Parman yang pandai matematika itu ikut ujian SMP negeri dan lulus dengan nilai yang sangat baik. Ia kemudian melamar untuk bersekolah di Solo dan diterima di SMA 2 atau SMA B yang terletak di Banjar Sari. Sekolahnya itu berdekatan dengan SMA 1 jurusan sastra budaya. Sehingga ia banyak bergaul dengan pelajar-pelajar sastra. Walaupun belajar ilmu eksakta, Mas Parman ternyata punya bakat seni. Ia bisa melukis dan membuat puisi. Ia ikut di klub sastra remaja yaitu sastra remaja Harian Nasional di Yogya. Bapak tidak bertanya banyak kepada anak sulungnya itu. Walaupun ia merasa sangat kecewa dan agak marah karena Mas Parman telah mengambil keputusan besar tanpa berkonsultasi dengan Bapak dulu. Saya mewakili keluarga menanyakan perihal keputusannya itu kepada Mas Parman. "Mas, kenapa tidak minta izin bapak dulu ketika Mas keluar dari Gontor?," tanyaku pada suatu hari.

"Kalau aku bilang dulu pada bapak, pasti tidak dikasih izin," jawabnya.
"Kenapa pula Mas berani mengambil keputusan besar itu?" tanyaku lagi. "Aku ternyata tidak betah tinggal di pondok. Aku merasa pesantren ini adalah sebuah masyarakat buatan. Kami hidup menyendiri, dilarang bergaul dengan penduduk desa. Kami di pondok menganggap diri sebagai keluarga ndoro," jawabnya lagi.

"Itu kan karena kepentingan para santri sendiri supaya tidak terkontaminasi oleh pengaruh luar," jelas saya.
"Tapi hidup kan menjadi artifisial, santri hanya diajar sesuatu yang baik tapi tidak mengetahui dunia nyata yang tidak terlalu bersih. Malah banyak kotornya."
"Kalau hanya itu alasannya, mengapa Mas tetap mengambil keputusan?" tanya saya.
"Terus terang saja, aku sendiri jenuh dan bosan hidup di pondok. Aku memahami jika sebagian santri melakukan homo bahkan mencuri-curi bergaul dengan perempuan di luar pondok."
"Nah, itulah akibatnya kalau para santri tidak disiplin."

"Pokoknya aku bosan, yang lebih mendasar lagi aku tidak bisa menerima pelajaran-pelajaran agama. Kupikir pendidikan semacam itu tidak berguna, karena tidak membekali santri untuk bisa hidup dalam realitas yang sering keras itu di luar dunia pesantren. Jadi apa gunanya aku bersusah payah mencapai kelulusan. Itulah maka aku mengambil keputusan untuk pindah sekolah."
"Mas Ikhsan ternyata senang nyantri di Pabelan," ujar saya.
"O… Pabelan itu beda dengan Gontor, Kiainya juga alumni Gontor, tapi ia bisa berbeda dengan Gontor. Santri Pabelan bebas bergaul bahkan diharuskan. Kiai Hamam bisa menerima saran dari LP3ES untuk menyelenggarakan program lingkungan hidup. Pesantren bahkan menyediakan air bersih yang diolah dari kali Pabelan untuk penduduk desa. Kiai Hamam juga membuat pemandian umum desa. Sehingga santri-santrinya bisa bergaul dengan penduduk desa setiap pagi sore sambil mandi bersama."

Mas Parman kemudian melanjutkan perubahan di dalam hidupnya. "Har, aku ingin memberitahukan padamu, perubahan pola hidupku di Solo. Aku sekarang sudah tidak menjalankan salat, juga puasa Ramadan," katanya jujur.

"Mas, apakah ini tidak terlalu jauh? Ibu bapak pasti akan marah besar sama Mas," jawab saya.

"Ya jangan dilaporkan ke ibu bapak, tapi ceritakan saja apa adanya kepada Mas Ikhsan, barangkali ia bisa menerima dengan kepala dingin." Saya kemudian berpisah dengan Mas Parman dan melaksanakan wasiatnya. Tidak henti-hentinya saya berpikir dan merenung, sehingga memberatkan pikiran saya. Sebagai adik kandung, saya menyayangkan keputusan dan langkah radikal Mas Parman. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa sehingga hanya bisa menerima dengan sedih yang menjadi unek-unek terus-menerus. Sebab, saya pun juga ingin jawaban terhadap masalah-masalah yang ditimbulkan keputusan kakak saya itu. Saya khawatir sikapnya itu akan memengaruhi kakak dan adik saya yang lainnya sehingga unek-unek itu saya sampaikan kepada Mas Ikhsan. Ia juga tampak terkejut tapi hanya terdiam saja tanpa reaksi. Karena itu aku minta kepada Mas Ikhsan untuk bertemu sendiri dengan Mas Parman.

Akhirnya, pada suatu hari, Mas Ikhsan menyempatkan diri untuk bertemu langsung dengan Mas Parman di Solo. Ia tinggal di daerah Manahan. Berikut ini adalah laporan Mas Ikhsan kepadaku dari hasil pertemuannya dengan Mas Parman. "Aku diajak Mas Parman pada suatu malam di suatu warung hik yang masyhur dengan jualan wedang ronde dan makanan tradisional Surakarta. Mas Parman memang romantis. Dia tidak ragu mengajakku menikmati suasana Solo di waktu malam yang dirasakan rakyat jelata. Terkesan olehku bahwa ia memang merakyat hidupnya. Karena setiap kali kami berbincang-bincang, selalu saja ada orang yang menyapa. Ada juga para pengemis dan gelandangan. Di warung hik itulah aku mencoba secara tenang menanyakan banyak hal kepada Mas Parman.
 
Ilustrasi
"Mas, aku sudah mendengar semua cerita mengenai dirimu dari adik kita, Haryono, terus terang saja aku terkejut. Timbul seribu satu pertanyaan dalam pikiranku, aku masih seorang santri yang baik dan terus bercita-cita menjadi ulama pemikir modern. Sebagai adik, aku tidak bisa memahami sikapmu. Bahkan aku tidak percaya dengan cerita Haryono, aku juga sudah tanya kepada Haryono bagaimana pandangannya. Tapi ia tidak banyak memberi penjelasan sehingga aku harus langsung bertemu denganmu. Mohon jangan tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaan dan komentarku. Aku bahkan ingin belajar kepada Mas, yang memiliki sebuah pengalaman dramatis."

"O… boleh saja, jadi aku sekarang sudah tidak menjalankan kewajibanku sebagai seorang muslim."
"Kalau begitu, Mas telah murtad?" tanyaku.
"Ya, sebelum hukuman murtad dijatuhkan kepadaku, aku lebih baik keluar saja dulu dari Islam. Sekarang siapa pun juga tidak berhak menghakimiku."
"O… begitu, aku pun tidak akan menghakimimu. Cuma aku ingin bertanya apakah Mas telah meninggalkan seluruh akidah Islam?" tanyaku ingin tahu.
"Ya, aku sekarang seorang atheis, aku sudah tidak percaya kepada Tuhan."
"Lalu status Mas sekarang sebagai apa?" tanyaku.
"Aku sudah menjadi humanis. Aku bercita-cita ingin menjadi pemikir bebas."
"Untuk menjadi orang seperti itu kan tidak perlu meninggalkan akidah. Islam memberi kebebasan."

"Ya aku tahu, aku hanya ingin mengatakan bahwa selama di Gontor aku tidak pernah memperoleh penjelasan yang memuaskan mengenai Tuhan. Dan mengapa orang harus percaya kepada Tuhan. Aku ingin bebas dari belenggu akal dan aku harus bisa mendasarkan perilakuku berdasarkan rasionalitas. Tidak dibelenggu iman dan syariat. Sekarang ini aku merasakan diriku menjadi orang bebas, tanpa belenggu. Ketika menjadi orang Islam aku merasa terjatuh ke dalam belenggu. Sekarang ini aku merasa mengalami pencerahan."

"Mas kan tahu bahwa Islam itu mengajarkan perbuatan baik berdasarkan iman. Jadi manusia memerlukan Tuhan untuk bisa berbuat baik."
"Inilah yang saya tidak setujui dalam Islam. Seperti kamu tahu sendiri, perbuatan baik itu tidak diakui Tuhan jika tidak didasarkan kepada iman. Mengapa harus begitu. Buddha Gautama mengajarkan perbuatan-perbuatan baik tanpa mensyaratkan iman kepada-Nya. Demikian pula Konghucu. Aku suka dengan dua agama yang kita sebut sebagai agama bumi itu. Aku ingin menjadi orang baik tanpa iman. Kalau mendengar keteranganmu itu terkesan olehku bahwa Tuhan itu adalah ciptaan manusia sendiri, bukannya sebaliknya."

"Astaghfirullahal’adzim."
"Dalam kenyataannya, agama itu hanyalah candu yang membius dan membuat lupa terhadap kesengsaraan dan penindasan yang menimpa mereka."
"Berlindung aku dari bisikan semacam itu."
"Sorry ya, jangan anggap aku sesat. Semuanya itu sudah kupikirkan dan kurenungkan dalam-dalam. Pokoknya aku ingin bebas menjadi humanis."
"Tapi aku yakin bahwa Islam akan membawaku ke sana, tapi sampean punya pendapat yang lain dan aku ingin belajar darimu sebagai seorang kakak tertua."
"Kamu tidak perlu jawaban verbal dariku. Lihat saja perbuatanku. Bukankah agamamu mengajarkan bahwa Tuhan itu akan bisa ditemui dengan perbuatan baik di dunia ini."
"Kalau gitu, Mas masih percaya kepada Tuhan."

"Tidak! Aku tidak bisa percaya pada adanya Tuhan. Aku hanya ingin berbuat baik kepada sesama manusia berdasarkan alasan-alasan yang rasional saja."
"Wah, menurutku manusia yang percaya kepada Tuhan itu tentu akan terdorong untuk berbuat baik, karena itu apa salahnya kita percaya akan adanya Tuhan."
"Ya terserah. Cuma saya tidak mau percaya kepada Tuhan yang diciptakan manusia. Tuhan begini, sama saja dengan dewa-dewa Hindu maupun Yunani."
Begitulah Mas Ikhsan menceritakan kembali dialognya. "Lalu bagaimana tanggapan dan sikapmu?"

"Lakumdinukum waliyadin, biar dia percaya apa yang ia percayai dan kita percaya apa yang kita percayai."
"Lalu bagaimana pandanganmu mengenai kakak kita itu?"


"Aku tidak menganggap dia orang sesat. Ia hanya memilih suatu jalan hidup. Dalam hatiku, aku percaya bahwa Mas Suparman itu sebetulnya percaya kepada Tuhan. Cuma dia tidak mau merumuskan apa Tuhan itu. Bukankah agama kita mengajarkan bahwa apa pun yang kita pikirkan mengenai Tuhan, itu bukan Tuhan. Jadi Tuhan itu diimani saja, tidak perlu dirasionalkan. Walaupun teori-teori mengenai Tuhan boleh saja dikemukakan. Biar dia tidak percaya kepada Tuhan, asalkan ia berbuat baik dan melaksanakan ajaran Islam menurut ukuran-ukuran kita. Tidak perlu kita mensyaratkan iman kepadanya."

Mas Suparman yang kini sudah menjelang masa pensiun itu sekitar enam puluh lima tahunan nampaknya, paling tidak menurut kesan saya, telah mencapai apa yang ia cita-citakan berdasarkan kebebasan yang ia yakini. Saya berpendapat bahwa pada dasarnya, kakak kami itu masih seorang muslim yang baik. Hidupnya sesuai dengan sepuluh wasiat Tuhan yang didendangkan Iin dan Jaka Bimbo.

Pertama aku masih percaya bahwa ia masih punya iman dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Seperti kata Jalaludin Rumi dan Al Halaj, ia pada akhirnya akan memperoleh pengertian Tuhan yang sebetulnya melekat pada dirinya sendiri jika ia masih tetap bisa menjalankan hidup yang benar berarti Allah masih membimbingnya. Cuma, dia tidak tahu dan tidak mengaku. Malah saya berpendapat bahwa sikap Mas Parman itulah yang mencerminkan Tauhid yang semurni-murninya. Wallahu’alam. Kedua, ia berbuat baik kepada ibu bapaknya, ia tidak pernah mau menyakiti kedua orang tuanya. Harus kami akui bahwa di antara kami, Mas Parmanlah yang paling banyak membantu orang tua kami. Ketiga, ia bisa menjaga harta anak-anak yatim, yaitu adik-adiknya, ia tidak mau mengambil bagian warisannya. Ia serahkan semuanya kepada kita. Mas Parman juga membuat yayasan yang menampung anak-anak yatim. Tutur katanya tidak pernah menyakiti orang lain, ia selalu menjaga diri dari perbuatan-perbuatan tercela.***


MBOK YEM

*Oleh M Dawam Rahardjo, Cerpen ini dimuat di REPUBLIKA, 1 Oktober 2006

Adikku, si Bagus, sewaktu kecil diasuh oleh seorang perempuan setengah baya, yang dipanggil Mbok Yem. Ibuku, aku dan kakak-kakak Bagus, sering meledeknya bahwa ia anak Mbok Yem. Memang Bagus sangat lekat pada Mbok Yem, tidak pernah mau pisah. Dan, kalau nangis meminta sesuatu, yang dicari adalah Mbok Yem.

Kalau dinakali temannya atau diganggu orang, mengadunya juga ke Mbok Yem. Bahkan jika ibu marah pun ia lapor kepada mboknya itu. Ibuku sendiri jika menyebut Bagus di muka Mbok Yem, sering menyebutnya dengan "anakmu". Bagus sebenarnya agak nakal, mbandel, karena itu ibu sering marah kepadanya. Tapi, Mbok Yem selalu membelanya.
"Yu, anakmu itu kok makin nakal tho?" tanya ibu suatu hari "Bukan nakal, tapi makin pinter," jawab Mbok Yem membela. Kadang-kadang dia menjawab, "Ya, tapi kan malah lucu."

Begitulah pembelaannya. Pokoknya ia tidak mau anak asuhnya itu dicela oleh siapapun. Apalagi jika yang memarahi kakak-kakaknya. Ia akan balik marah seperti induk ayam yang melindungi anak-anaknya. Mbok Yem memang sangat sayang pada Bagus. Mungkin karena si Bagus itu memang bagus rupanya. Mungkin ia menganggap Bagus seperti anaknya sendiri.
Sekolah Bagus di sekolah negeri di Solo, ternyata cukup lancar. Cuma waktu mau masuk ke perguruan tinggi, ia tidak berhasil diterima di universitas negeri, seperti UGM. Karena itu, ia melamar ke Universitas Islam Indonesia atau UII, fakultas ekonomi, dan diterima. Karena di SMA ia masuk ke bagian IPA, maka nilainya di fakultas ekonomi cukup bagus, indeks prestasinya 3,30. Selain itu, ia, selama menjadi mahasiswa, belajar sendiri komputer, lewat buku-buku. Bisa juga ia menguasai komputer. Tapi ia menambah kepandaiaannya dengan mengikuti kursus disain grafis, juga dengan mempergunakan alat komputer.
Setelah dewasa, tentu saja Bagus tidak lagi diasuh oleh Mbok Yem. Mbok Yem giliran mengasuh adik-adik Agus. Tapi hubungan adik-adik Bagus dengan Mbok Yem tidak seakrab hubungan Bagus dan Mbok Yem. Pokoknya, seperti kata ibu, Bagus itu memang "anak Mbok Yem", walapun Bagus sejak kecil juga sudah tahu bahwa ibunya yang sebenarnya adalah ibuku itu.
Sewaktu menginjak bangku SMA, hubungan Bagus dengan pengasuhnya mulai renggang, karena Bagus agak malu dibilang anak Mbok Yem. Apalagi setelah lulus SMA, Bagus harus pindah ke Yogya. Namun, Bagus tetap ingat pada bekas pengasuhnya itu. Jika pulang dari Yogya, Bagus selalu membawa oleh-oleh buat mboknya. Pernah pula ia membeli oleh-oleh berupa baju baru.
Mbok Yem sebenarnya punya anak sendiri, cuma seorang saja, anak perempuan. Tapi, bapak anak itu suatu hari pergi tanpa pamit. Kabarnya pergi ke Sumatera, ikut rombongan transmigrasi. Nama anak itu Ruqoyah, dengan panggilan si Ru. Jarak umurnya dengan Bagus agak banyak, lima tahunan. Bagus menganggap si Ru sebagai adiknya sendiri. Apalagi si Ru itu anaknya tampak bersih dan cantik, separuhnya karena kulitnya yang kuning langsat. Sepertinya kurang pantas ibunya Mbok Yem. Bahkan banyak yang menyangka, ia adalah bagian dari keluargaku. Karena, ia memang bebas bergaul dengan adik-adikku. Apalagi Bagus memperlakukan si Ru seperti adik kandungnya sendiri. Maklum, ia anak mboknya.
Padahal, keluargaku sebenarnya adalah keluarga feodal. Ibuku memang berdarah biru. Di Solo, biasanya para bangsawan itu menginginkan anaknya berjodoh dengan anak-anak pengusaha atau santri yang berpotensi menjadi kiai. Bapakku adalah lulusan pondok Termas di bilangan Madiun. Ia anak desa yang bapaknya mengerjakan sawah milik seorang bangsawan keraton, dari mana ibuku berasal. Bapak lalu diambil menantu. Tapi, ia tidak memilih profesi sebagai guru agama, melainkan sebagai pengusaha batik.
Di perusahaan batik itu, peranan ibuku sangat dominan. Ibuku mendapat julukan ndoro den ayu. Anak-anak lelaki dalam keluargaku, termasuk aku dan Bagus, dipanggil Gus sebelum nama mereka. Panggilanku adalah Gus Darwis. Sedengkan Mbok Yem memanggil Bagus, Gus, entah berasal dari den bagus atau Bagus atau dua-duanya, Gus Bagus, disingkat Gus.
Membatik, 1910
Setelah lulus perguruan tinggi, Bagus pulang ke Solo. Ia tidak mengikuti jejakku ke Jakarta, melainkan ingin tetap tinggal di Solo. Karena mempunyai ketrampilan mengoperasikan komputer ditambah dengan kepandaian disain grafis, maka ia mendirikan sebuah percetakan kecil, sesuai dengan hobinya memainkan komputer. Lulusan UII memang, terutama dari fakultas ekonomi, cenderung memilih menjadi wiraswasta, katimbang jadi pegawai seperti saya yang lulusan UGM. Saya memang punya kecenderungan menjadi priyayi.
Bagus berbeda, punya kepribadian sendiri dan cita-cita sendiri. Ia senang menjadi orang bebas. Bisa menentukan sendiri tentang segala sesuatu. Cita-cita Bagus sederhana, ingin menjadi pengusaha sukses, mengikuti jejak bapaknya atau ibunya. Sudah tentu bapakku merasa berbahagia, sebab melihat kecenderungan saya, ia khawatir, jejaknya sebagai pengusaha tidak diikuti anak-anaknya. Bagus bagi bapakku adalah suatu anugerah. Ibuku juga merasa senang, karena ada anaknya yang menemaninya di hari tua, yang tetap tinggal di kota bengawan itu.
Sebagai anak kebanggaan ayah-ibu, Bagus digadang-gadang untuk dikawinkan dengan gadis yang pintar dan anaknya orang kaya. Padahal anak perempuan dari keluarga kaya, bisa menjadi beban, karena terbiasa dengan pola hidup yang mewah. Itulah jalan pikiran Bagus. Ia sendiri tidak punya angan-angan sama sekali untuk kawin dengan seorang gadis dari keluarga kaya. Padahal keluargaku sendiri tinggal di bilangan Laweyan yang terkenal dengan industri batiknya, banyak orang kaya.
Sebenarnya Bagus banyak diincar oleh keluarga-keluarga kaya dari Laweyan. Misalnya Pak Cokrohandoko pernah mengemukakan minatnya kepada bapakku untuk mengambil Bagus sebagai menantunya. Padahal, anak gadisnya tidak begitu cantik, sehingga ayahku dengan sopan menghindari anaknya dilamar, walaupun Pak Cokro tergolong paling kaya di Laweyan. Apalagi Pak Cokro tergolong abangan, sehingga pendidikan agama anaknya diragukan. Sebagai orang yang tahu agama, bapak menginginkan menantu yang sholehah.
Di Laweyan sebenarnya banyak gadis-gadis cantik, sebagian malah teman sekolah Bagus sendiri. Tapi entahlah, Bagus tidak tertarik pada seorangpun. Sikapnya terkenal dingin, sehingga sangat menjengkelkan gadis-gadis, karena mereka itu sebenarnya berminat kepada Bagus, yang wajahnya cukup sesuai dengan namanya.
Tapi, bapak ibuku punya pakem untuk mengambil menantu, yaitu harus dari keluarga yang terpandang, kalau bisa punya tiga unsur, priyayi, santri dan pengusaha. Syarat seperti itu sebenarnya tidak sulit untuk dipenuhi, apalagi jika melihat potensi dari kampung sebelahnya, Tegalsari. Mereka umumnya adalah keluarga pengusaha-santri, walaupun belum tentu punya darah bangsawan. Kombinasi tiga unsur itu lebih mungkin dijumpai di Laweyan. Hanya saja, di Laweyan lebih mungkin dengan kombinasi abangan-pengusaha. Ini bisa dilihat dari keanggotaan partainya, seperti dapat dilihat dari Pak Cokro yang anggota PNI. Bapakku tentu saja orang Masyumi.
Setelah usaha Bagus nampak sukses, bapak-ibuku kepingin menikahkannya. Mereka telah memilih calon-calon potensial, walaupun masih harus dilamar jika Bagus setuju. Ayah-ibuku punya kepercayaan diri yang tinggi untuk mengambil menantu dari keluarga manapun, bahkan mereka memandang Bagus sebagai calon menantu ideal, berpendidikan tinggi, berakhal baik, dalam arti punya dasar agama yang cukup, misalnya mampu menjadi imam di waktu sholat, dengan bacaan yang fasih, rupanyapun bagus, sehingga sering dijuluki cah bagus atau anak ganteng. Lebih-lebih keluarga Bagus cukup terpandang dan Bagusnya sendiri sudah punya profesi sebagai pengusaha muda.
Tapi, Bagus ternyata mempunyai rencana lain. Bagus adalah orang yang punya kepribadian dan karena itu tegas dalam pendirian. Inilah agaknya yang bikin susah ibu-bapakku untuk menjodohkannya. Suatu ketika ibu-bapakku terkejut mengetahui ternyata Bagus tertarik untuk mengawini si Ru, anak pembantu. Niat itu pernah disampaikannya kepada Mbok Yem. Dan Mboknya percaya, karena sikap Bagus yang sangat ramah dan akrab kepada si Ru, walaupun sikap itu seperti sikap kakak kepada adiknya. Sikap Bagus yang nampak tidak berminat untuk dicarikan jodoh, membuat ibu-bapakku bertanya-tanya, mengapa Bagus bersikap begitu. Hanya aku saja yang bisa membaca isyarat dari adikku itu, karena kami sering berbincang-bincang.
Akhirnya isyarat yang kutangkap itu aku sampaikan kepada ibu-bapakku. Bukan main herannya mereka mengetahui aspirasi Bagus. Mereka setengahnya tidak percaya. Mungkin karena mereka telah penuh rencana sendiri, tanpa mempedulikan aspirasi yang bersangkutan.
"Apa benar, Gus, kamu suka sama si Ru?" tanya ibu pada suatu hari. Bagus nampak terdiam, mungkin juga karena takut berterus terang, karena ia mengetahui rencana ibu-bapaknya yang memang masuk akal. Tapi akhirnya Bagus mengangguk pelan, dengan kemalu-maluan bercampur risau. "Gus, apa kamu bisa membayangkan, bagaimana bapak-ibumu berbesanan dengan rewangnya sendiri?" tanya ibu berterus terang menunjukkan sikap feodalnya.
"Aku terlanjur cinta sama Ru, Bu," jawab Bagus terus terang juga. Tapi Bagus bisa memahami perasaan bapak-ibunya. Ia membayangkan, bagaimana nanti di pelaminan, Mbok Yem berdiri menerima ucapan selamat dari para undangan, sedangkan ibu bapaknya berposisi di sebelah kanan pengantin. Tentu akan banyak timbul gosip tentang besan bapak-ibunya yang kaya dan berdarah bangsawan itu. Jangan-jangan Bagus dicurigai telah menghamili terlebih dulu anak pembantunya. Jadi mereka terpaksa dikawinkan. Tapi akhirnya Bagus menemukan jawaban kepada bapak ibunya: "Pak, Bu, dulu, dahkan sampai sekarang ibu selalu memanggil aku anaknya Mbok Yem. Kalau aku kawin dengan Ru, panggilan itu menjadi kenyataan." Jawab Bagus dengan mantap.
"Lagi pula Mbok Yem dan Ru itu selama ini kita anggap sebagai keluarga sendiri, bukan sebagai batur. Bukankah rasulullah menganjurkan agar kita membebaskan budak dengan mengawini mereka, baik laki-laki maupun perempuan," lanjut Bagus, dan kali ini ia menoleh kepada bapaknya yang tertegun.
"Budak rasulullah sendiri, Zaid bin Kharitsah yang hitam, dikawinkan dengan gadis cantik, Zainab, dari keluarga orang merdeka. Istri rasulullah sendiri ada yang budak, misalnya Maria Kiptiyah."
Ayahku tidak bisa membantah jawaban Bagus. Mungkin ia menyetujui argumen Bagus sebagai orang yang mengerti agama. Jawabab Bagus itu sungguh tidak ia duga. Bagus merasa, jawabannya itu bisa meluluhkan hati bapaknya. Bukankah ia sendiri anak desa yang diambil menantu bangsawan kraton?