*Oleh: M. Dawam Rahadjo, Cerpen ini dimuat di Media
Indonesia, Edisi 09 Februari 2007
KAKAK kami Suparman kini tinggal di Jakarta
menjelang masa pensiun. Tapi ia tidak terikat. Karena ia mengelola sebuah
perusahaan konsultan sendiri, dengan karyawan sekitar 50 orang. Ia adalah
seorang arsitek lulusan ITB. Setelah lulus, ia melamar sebagai arsitek di
sebuah perusahaan. Setelah mendapatkan pengalaman, ia mendirikan perusahaan
sendiri bersama beberapa orang kawannya. Usahanya ini boleh dikatakan maju,
berkat kegiatan pembangunan di Ibu Kota.
Kakak kami itu ialah saudara tertua dalam keluarga
kami yang tinggal di sebuah desa bernama Jatiwarno di Wonogiri. Sekitar 30
kilometer dari Kota Solo. Daerah tempat tinggal kami itu dikenal kering. Dulu
sering kali menjadi berita di koran karena kelaparan. Di zaman kolonial pernah
terjadi busung lapar. Kini Wonogiri tidak lagi kering seperti dulu karena di
situ dibangun waduk Gajah Mungkur. Sekarang sudah ada ladang-ladang ubi kayu
dan jagung selain sawah padi. Waduk ini juga menjadi pusat pariwisata yang
dikunjungi terutama oleh orang-orang Solo. Keluarga kami, keluarga Parto
Sentono lebih populer dipanggil Kiai Parto adalah sebuah keluarga yang
religius. Ayah kami itu adalah seorang petani yang juga berperan sebagai
ulama lokal karena ia adalah santri lulusan Mamba’ul Ulum dan tinggal di
pesantren Jamsaren. Jadi ia pernah berguru kepada KH Abu Amar, Ulama Solo yang
masyhur itu. Itulah sebabnya Kiai Parto mengirim kami, anak-anaknya, ke
pesantren sebagai lembaga pendidikan.
Mas Parman sebagai anak tertua dikirim ke Gontor
Ponorogo yang jaraknya tidak jauh dari desa kami. Kakak saya yang kedua
Muhammad Ikhsan dipondokkan ke Pesantren Pabelan di bawah pimpinan Kiai Haji
Hamam Ja’far. Saya sendiri sebagai anak ketiga cukup bersekolah di
Madrasah Al-Islam, Honggowongso, Solo. Jadi saya punya dua orang adik.
Yang pertama, dikirim ke Tebu Ireng, sedangkan adik saya yang paling bontot
disuruh belajar ke madrasah Mu’alimat Muhammadiyah, Yogyakarta.
Walaupun semuanya berlatar belakang pendidikan
pesantren, kami semua mempunyai profesi yang berbeda-beda, misalnya Mas Parman
menjadi seorang arsitek, sedangkan saya sendiri menjadi petani jagung dan ubi
kayu meneruskan pekerjaan bapak. Karena itulah, saya adalah anak yang paling
dekat dengan keluarga dan menyelenggarakan pertemuan halalbihalal setiap tahun
dengan keluarga.
Bapak merasa sangat bangga anaknya bisa masuk ke
pondok modern Gontor. Mas Parman sendiri juga merasa mantap berguru dengan Kiai
Zarkasi dan Kiai Sahal. Di masa sekolah dasar, kami semua dididik langsung oleh
bapak kami. Mas Parman ternyata berhasil menjadi seorang santri yang cerdas.
Bapak sangat berharap kelak Mas Parman menjadi seorang ulama modern. Bapak
memang tidak mengikuti perkembangan anaknya itu sehingga ia merasa terkejut
ketika pada suatu hari ia berkunjung ke Gontor, anaknya itu ternyata sudah
tidak lagi bersekolah di situ. Namun sebentar kemudian, ia mendengar di mana
anaknya berada. Ternyata Mas Parman yang pandai matematika itu ikut ujian SMP
negeri dan lulus dengan nilai yang sangat baik. Ia kemudian melamar untuk
bersekolah di Solo dan diterima di SMA 2 atau SMA B yang terletak di Banjar
Sari. Sekolahnya itu berdekatan dengan SMA 1 jurusan sastra budaya. Sehingga ia
banyak bergaul dengan pelajar-pelajar sastra. Walaupun belajar ilmu eksakta,
Mas Parman ternyata punya bakat seni. Ia bisa melukis dan membuat puisi. Ia
ikut di klub sastra remaja yaitu sastra remaja Harian Nasional di Yogya. Bapak
tidak bertanya banyak kepada anak sulungnya itu. Walaupun ia merasa sangat
kecewa dan agak marah karena Mas Parman telah mengambil keputusan besar tanpa
berkonsultasi dengan Bapak dulu. Saya mewakili keluarga menanyakan perihal
keputusannya itu kepada Mas Parman. "Mas, kenapa tidak minta izin bapak
dulu ketika Mas keluar dari Gontor?," tanyaku pada suatu hari.
"Kalau aku bilang dulu pada bapak, pasti tidak
dikasih izin," jawabnya.
"Kenapa pula Mas berani mengambil keputusan
besar itu?" tanyaku lagi. "Aku ternyata tidak betah tinggal di
pondok. Aku merasa pesantren ini adalah sebuah masyarakat buatan. Kami hidup
menyendiri, dilarang bergaul dengan penduduk desa. Kami di pondok menganggap
diri sebagai keluarga ndoro," jawabnya lagi.
"Itu kan karena kepentingan para santri
sendiri supaya tidak terkontaminasi oleh pengaruh luar," jelas saya.
"Tapi hidup kan menjadi artifisial, santri
hanya diajar sesuatu yang baik tapi tidak mengetahui dunia nyata yang tidak
terlalu bersih. Malah banyak kotornya."
"Kalau hanya itu alasannya, mengapa Mas tetap
mengambil keputusan?" tanya saya.
"Terus terang saja, aku sendiri jenuh dan
bosan hidup di pondok. Aku memahami jika sebagian santri melakukan homo bahkan
mencuri-curi bergaul dengan perempuan di luar pondok."
"Nah, itulah akibatnya kalau para santri tidak
disiplin."
"Pokoknya aku bosan, yang lebih mendasar lagi
aku tidak bisa menerima pelajaran-pelajaran agama. Kupikir pendidikan semacam
itu tidak berguna, karena tidak membekali santri untuk bisa hidup dalam
realitas yang sering keras itu di luar dunia pesantren. Jadi apa gunanya aku bersusah
payah mencapai kelulusan. Itulah maka aku mengambil keputusan untuk pindah
sekolah."
"Mas Ikhsan ternyata senang nyantri di
Pabelan," ujar saya.
"O… Pabelan itu beda dengan Gontor, Kiainya
juga alumni Gontor, tapi ia bisa berbeda dengan Gontor. Santri Pabelan bebas
bergaul bahkan diharuskan. Kiai Hamam bisa menerima saran dari LP3ES untuk
menyelenggarakan program lingkungan hidup. Pesantren bahkan menyediakan air
bersih yang diolah dari kali Pabelan untuk penduduk desa. Kiai Hamam juga
membuat pemandian umum desa. Sehingga santri-santrinya bisa bergaul dengan
penduduk desa setiap pagi sore sambil mandi bersama."
Mas Parman kemudian melanjutkan perubahan di dalam
hidupnya. "Har, aku ingin memberitahukan padamu, perubahan pola hidupku di
Solo. Aku sekarang sudah tidak menjalankan salat, juga puasa Ramadan,"
katanya jujur.
"Mas, apakah ini tidak terlalu jauh? Ibu bapak
pasti akan marah besar sama Mas," jawab saya.
"Ya jangan dilaporkan ke ibu bapak, tapi ceritakan saja apa adanya kepada Mas Ikhsan, barangkali ia bisa menerima dengan kepala dingin." Saya kemudian berpisah dengan Mas Parman dan melaksanakan wasiatnya. Tidak henti-hentinya saya berpikir dan merenung, sehingga memberatkan pikiran saya. Sebagai adik kandung, saya menyayangkan keputusan dan langkah radikal Mas Parman. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa sehingga hanya bisa menerima dengan sedih yang menjadi unek-unek terus-menerus. Sebab, saya pun juga ingin jawaban terhadap masalah-masalah yang ditimbulkan keputusan kakak saya itu. Saya khawatir sikapnya itu akan memengaruhi kakak dan adik saya yang lainnya sehingga unek-unek itu saya sampaikan kepada Mas Ikhsan. Ia juga tampak terkejut tapi hanya terdiam saja tanpa reaksi. Karena itu aku minta kepada Mas Ikhsan untuk bertemu sendiri dengan Mas Parman.
Akhirnya, pada suatu hari, Mas Ikhsan menyempatkan diri untuk bertemu langsung dengan Mas Parman di Solo. Ia tinggal di daerah Manahan. Berikut ini adalah laporan Mas Ikhsan kepadaku dari hasil pertemuannya dengan Mas Parman. "Aku diajak Mas Parman pada suatu malam di suatu warung hik yang masyhur dengan jualan wedang ronde dan makanan tradisional Surakarta. Mas Parman memang romantis. Dia tidak ragu mengajakku menikmati suasana Solo di waktu malam yang dirasakan rakyat jelata. Terkesan olehku bahwa ia memang merakyat hidupnya. Karena setiap kali kami berbincang-bincang, selalu saja ada orang yang menyapa. Ada juga para pengemis dan gelandangan. Di warung hik itulah aku mencoba secara tenang menanyakan banyak hal kepada Mas Parman.
"Ya jangan dilaporkan ke ibu bapak, tapi ceritakan saja apa adanya kepada Mas Ikhsan, barangkali ia bisa menerima dengan kepala dingin." Saya kemudian berpisah dengan Mas Parman dan melaksanakan wasiatnya. Tidak henti-hentinya saya berpikir dan merenung, sehingga memberatkan pikiran saya. Sebagai adik kandung, saya menyayangkan keputusan dan langkah radikal Mas Parman. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa sehingga hanya bisa menerima dengan sedih yang menjadi unek-unek terus-menerus. Sebab, saya pun juga ingin jawaban terhadap masalah-masalah yang ditimbulkan keputusan kakak saya itu. Saya khawatir sikapnya itu akan memengaruhi kakak dan adik saya yang lainnya sehingga unek-unek itu saya sampaikan kepada Mas Ikhsan. Ia juga tampak terkejut tapi hanya terdiam saja tanpa reaksi. Karena itu aku minta kepada Mas Ikhsan untuk bertemu sendiri dengan Mas Parman.
Akhirnya, pada suatu hari, Mas Ikhsan menyempatkan diri untuk bertemu langsung dengan Mas Parman di Solo. Ia tinggal di daerah Manahan. Berikut ini adalah laporan Mas Ikhsan kepadaku dari hasil pertemuannya dengan Mas Parman. "Aku diajak Mas Parman pada suatu malam di suatu warung hik yang masyhur dengan jualan wedang ronde dan makanan tradisional Surakarta. Mas Parman memang romantis. Dia tidak ragu mengajakku menikmati suasana Solo di waktu malam yang dirasakan rakyat jelata. Terkesan olehku bahwa ia memang merakyat hidupnya. Karena setiap kali kami berbincang-bincang, selalu saja ada orang yang menyapa. Ada juga para pengemis dan gelandangan. Di warung hik itulah aku mencoba secara tenang menanyakan banyak hal kepada Mas Parman.
"Mas, aku sudah mendengar semua cerita
mengenai dirimu dari adik kita, Haryono, terus terang saja aku terkejut. Timbul
seribu satu pertanyaan dalam pikiranku, aku masih seorang santri yang baik dan
terus bercita-cita menjadi ulama pemikir modern. Sebagai adik, aku tidak bisa
memahami sikapmu. Bahkan aku tidak percaya dengan cerita Haryono, aku juga
sudah tanya kepada Haryono bagaimana pandangannya. Tapi ia tidak banyak memberi
penjelasan sehingga aku harus langsung bertemu denganmu. Mohon jangan
tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaan dan komentarku. Aku bahkan ingin
belajar kepada Mas, yang memiliki sebuah pengalaman dramatis."
"O… boleh saja, jadi aku sekarang sudah
tidak menjalankan kewajibanku sebagai seorang muslim."
"Kalau begitu, Mas telah murtad?"
tanyaku.
"Ya, sebelum hukuman murtad dijatuhkan
kepadaku, aku lebih baik keluar saja dulu dari Islam. Sekarang siapa pun juga
tidak berhak menghakimiku."
"O… begitu, aku pun tidak akan menghakimimu.
Cuma aku ingin bertanya apakah Mas telah meninggalkan seluruh akidah
Islam?" tanyaku ingin tahu.
"Ya, aku sekarang seorang atheis, aku sudah
tidak percaya kepada Tuhan."
"Lalu status Mas sekarang sebagai apa?"
tanyaku.
"Aku sudah menjadi humanis. Aku bercita-cita
ingin menjadi pemikir bebas."
"Untuk menjadi orang seperti itu kan tidak
perlu meninggalkan akidah. Islam memberi kebebasan."
"Ya aku tahu, aku hanya ingin mengatakan bahwa selama di Gontor aku tidak pernah memperoleh penjelasan yang memuaskan mengenai Tuhan. Dan mengapa orang harus percaya kepada Tuhan. Aku ingin bebas dari belenggu akal dan aku harus bisa mendasarkan perilakuku berdasarkan rasionalitas. Tidak dibelenggu iman dan syariat. Sekarang ini aku merasakan diriku menjadi orang bebas, tanpa belenggu. Ketika menjadi orang Islam aku merasa terjatuh ke dalam belenggu. Sekarang ini aku merasa mengalami pencerahan."
"Ya aku tahu, aku hanya ingin mengatakan bahwa selama di Gontor aku tidak pernah memperoleh penjelasan yang memuaskan mengenai Tuhan. Dan mengapa orang harus percaya kepada Tuhan. Aku ingin bebas dari belenggu akal dan aku harus bisa mendasarkan perilakuku berdasarkan rasionalitas. Tidak dibelenggu iman dan syariat. Sekarang ini aku merasakan diriku menjadi orang bebas, tanpa belenggu. Ketika menjadi orang Islam aku merasa terjatuh ke dalam belenggu. Sekarang ini aku merasa mengalami pencerahan."
"Mas kan tahu bahwa Islam itu mengajarkan
perbuatan baik berdasarkan iman. Jadi manusia memerlukan Tuhan untuk bisa
berbuat baik."
"Inilah yang saya tidak setujui dalam Islam.
Seperti kamu tahu sendiri, perbuatan baik itu tidak diakui Tuhan jika
tidak didasarkan kepada iman. Mengapa harus begitu. Buddha Gautama mengajarkan
perbuatan-perbuatan baik tanpa mensyaratkan iman kepada-Nya. Demikian pula
Konghucu. Aku suka dengan dua agama yang kita sebut sebagai agama bumi itu. Aku
ingin menjadi orang baik tanpa iman. Kalau mendengar keteranganmu itu terkesan
olehku bahwa Tuhan itu adalah ciptaan manusia sendiri, bukannya
sebaliknya."
"Astaghfirullahal’adzim."
"Dalam kenyataannya, agama itu hanyalah candu yang membius dan membuat lupa terhadap kesengsaraan dan penindasan yang menimpa mereka."
"Dalam kenyataannya, agama itu hanyalah candu yang membius dan membuat lupa terhadap kesengsaraan dan penindasan yang menimpa mereka."
"Berlindung aku dari bisikan semacam
itu."
"Sorry ya, jangan anggap aku sesat. Semuanya
itu sudah kupikirkan dan kurenungkan dalam-dalam. Pokoknya aku ingin bebas
menjadi humanis."
"Tapi aku yakin bahwa Islam akan membawaku ke
sana, tapi sampean punya pendapat yang lain dan aku ingin belajar darimu
sebagai seorang kakak tertua."
"Kamu tidak perlu jawaban verbal dariku. Lihat
saja perbuatanku. Bukankah agamamu mengajarkan bahwa Tuhan itu akan bisa
ditemui dengan perbuatan baik di dunia ini."
"Kalau gitu, Mas masih percaya kepada
Tuhan."
"Tidak! Aku tidak bisa percaya pada adanya
Tuhan. Aku hanya ingin berbuat baik kepada sesama manusia berdasarkan
alasan-alasan yang rasional saja."
"Wah, menurutku manusia yang percaya kepada
Tuhan itu tentu akan terdorong untuk berbuat baik, karena itu apa salahnya kita
percaya akan adanya Tuhan."
"Ya terserah. Cuma saya tidak mau percaya
kepada Tuhan yang diciptakan manusia. Tuhan begini, sama saja dengan dewa-dewa
Hindu maupun Yunani."
Begitulah Mas Ikhsan menceritakan kembali
dialognya. "Lalu bagaimana tanggapan dan sikapmu?"
"Lakumdinukum waliyadin, biar dia percaya apa
yang ia percayai dan kita percaya apa yang kita percayai."
"Lalu bagaimana pandanganmu mengenai kakak
kita itu?"
"Aku tidak menganggap dia orang sesat. Ia
hanya memilih suatu jalan hidup. Dalam hatiku, aku percaya bahwa Mas Suparman
itu sebetulnya percaya kepada Tuhan. Cuma dia tidak mau merumuskan apa Tuhan
itu. Bukankah agama kita mengajarkan bahwa apa pun yang kita pikirkan mengenai
Tuhan, itu bukan Tuhan. Jadi Tuhan itu diimani saja, tidak perlu dirasionalkan.
Walaupun teori-teori mengenai Tuhan boleh saja dikemukakan. Biar dia tidak
percaya kepada Tuhan, asalkan ia berbuat baik dan melaksanakan ajaran Islam
menurut ukuran-ukuran kita. Tidak perlu kita mensyaratkan iman kepadanya."
Mas Suparman yang kini sudah menjelang masa pensiun itu sekitar enam puluh lima tahunan nampaknya, paling tidak menurut kesan saya, telah mencapai apa yang ia cita-citakan berdasarkan kebebasan yang ia yakini. Saya berpendapat bahwa pada dasarnya, kakak kami itu masih seorang muslim yang baik. Hidupnya sesuai dengan sepuluh wasiat Tuhan yang didendangkan Iin dan Jaka Bimbo.
Pertama aku masih percaya bahwa ia masih punya iman dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Seperti kata Jalaludin Rumi dan Al Halaj, ia pada akhirnya akan memperoleh pengertian Tuhan yang sebetulnya melekat pada dirinya sendiri jika ia masih tetap bisa menjalankan hidup yang benar berarti Allah masih membimbingnya. Cuma, dia tidak tahu dan tidak mengaku. Malah saya berpendapat bahwa sikap Mas Parman itulah yang mencerminkan Tauhid yang semurni-murninya. Wallahu’alam. Kedua, ia berbuat baik kepada ibu bapaknya, ia tidak pernah mau menyakiti kedua orang tuanya. Harus kami akui bahwa di antara kami, Mas Parmanlah yang paling banyak membantu orang tua kami. Ketiga, ia bisa menjaga harta anak-anak yatim, yaitu adik-adiknya, ia tidak mau mengambil bagian warisannya. Ia serahkan semuanya kepada kita. Mas Parman juga membuat yayasan yang menampung anak-anak yatim. Tutur katanya tidak pernah menyakiti orang lain, ia selalu menjaga diri dari perbuatan-perbuatan tercela.***
Mas Suparman yang kini sudah menjelang masa pensiun itu sekitar enam puluh lima tahunan nampaknya, paling tidak menurut kesan saya, telah mencapai apa yang ia cita-citakan berdasarkan kebebasan yang ia yakini. Saya berpendapat bahwa pada dasarnya, kakak kami itu masih seorang muslim yang baik. Hidupnya sesuai dengan sepuluh wasiat Tuhan yang didendangkan Iin dan Jaka Bimbo.
Pertama aku masih percaya bahwa ia masih punya iman dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Seperti kata Jalaludin Rumi dan Al Halaj, ia pada akhirnya akan memperoleh pengertian Tuhan yang sebetulnya melekat pada dirinya sendiri jika ia masih tetap bisa menjalankan hidup yang benar berarti Allah masih membimbingnya. Cuma, dia tidak tahu dan tidak mengaku. Malah saya berpendapat bahwa sikap Mas Parman itulah yang mencerminkan Tauhid yang semurni-murninya. Wallahu’alam. Kedua, ia berbuat baik kepada ibu bapaknya, ia tidak pernah mau menyakiti kedua orang tuanya. Harus kami akui bahwa di antara kami, Mas Parmanlah yang paling banyak membantu orang tua kami. Ketiga, ia bisa menjaga harta anak-anak yatim, yaitu adik-adiknya, ia tidak mau mengambil bagian warisannya. Ia serahkan semuanya kepada kita. Mas Parman juga membuat yayasan yang menampung anak-anak yatim. Tutur katanya tidak pernah menyakiti orang lain, ia selalu menjaga diri dari perbuatan-perbuatan tercela.***
0 comments:
Post a Comment