M. Dawam Rahardjo (Rektor Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta)
Marhaenisme sebenarnya telah muncul kembali melalui
sebuah partai politik peserta pemilihan umum: Partai Nasional Indonesia
(PNI)-Front Marhaen. Tapi hal itu belum menjadi persoalan, sampai Presiden B.J.
Habibie berbicara tentang bahaya “Komas”, singkatan dari komunisme,
marhaenisme, dan sosialisme. Di situ, marhaenisme tidak saja dikaitkan dengan
sosialisme, tetapi juga komunisme. Karena itulah Prof. Ismail Suny mengingatkan
kembali rumusan marhaenisme menurut penemunya, Soekarno. Rumusan itu
menyebutkan bahwa “Marhaenisme adalah sosialisme yang diterapkan menurut
kondisi Indonesia.”
Ternyata, marhaenisme juga tercantum dalam
Dictionary of the Modern Politics of South-East Asia (1995), karya Michael
Laifer. Di situ dinyatakan bahwa marhaenisme diperhatikan kembali sebagai
ideologi politik karena pidato Presiden Soekarno di Bandung, pada 3 Juli 1957.
Sedangkan Ensiklopedi Indonesia menyebutkan bahwa marhaenisme adalah ideologi
yang dikembangkan oleh Ir. Soekarno sebagai ideologi PNI-Lama (1927-1931) dan
kemudian ditetapkan sebagai asas resmi PNI dalam manifes Kongres PNI ke-6 di
Surabaya, pada 1952.
Ensiklopedi Indonesia tidak menyebutkan adanya
kaitan antara marhaenisme dan marxisme. Tapi dalam ensiklopedi karya Laifer
itu, marhaenisme disebut sebagai salah satu varian marxisme. Dan yang lebih
menarik bahwa di samping varian, marhaenisme juga merupakan alternatif terhadap
marxisme. Dalam interpretasi itu terkandung adanya penolakan, paling tidak
kritik terhadap marxisme. Pada 1945, Bung Karno “menggali” Pancasila sebagai ideologi
politik. Dalam Pancasila, Bung Karno juga sekaligus menolak komunisme dan
kapitalisme serta mentransendensikan (hogeroptrecking) dua ideologi menjadi
sebuah ideologi alternatif. Dua versi gagasan itu bukannya tidak membingungkan,
tetapi kebingungan itu dipecahkan oleh para pengikutnya dengan mengidentikkan
marhaenisme dengan Pancasila.
Identifikasi itu sebenarnya logis saja, karena Bung
Karno pernah menjelaskan kedua ideologi itu dengan teorinya mengenai trilogi:
sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dasar
pemikirannya adalah secara sosiologis teori mengenai proletariat yang
dikembangkan oleh Marx tidak cocok untuk kondisi Indonesia. Kehadiran kaum
proletar di Indonesia tidak menonjol. Di negeri ini yang paling banyak adalah
“rakyat kecil” yang disebutnya kaum Marhaen. Jika proletar adalah kelas yang
tidak punya hak milik (unpropertied class), kaum Marhaen adalah kelas yang
masih punya hak milik (propertied class), tetapi serba sedikit, akibat
eksploitasi kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme.
Teori Bung Karno itu cukup sahih. Sebenarnya
marhaenisme mirip dengan maoisme. Baik Soekarno maupun Mao Ze Dong mengkritik
marxisme. Keduanya memandang masyarakat mereka sebagai masyarakat kaum petani.
Karena itu penyadaran kaum tani sebagai kelas proletar adalah keliru.
Kekeliruan inilah yang terjadi pada Partai Komunis Indonesia, yang mendasarkan
diri pada perjuangan kelas serta berbasis dan dipimpin oleh kelas proletar.
Padahal, proses industrialisasi belum terjadi di Indonesia. Karena itu, kelas
buruh, apalagi yang memiliki kesadaran kelas, belum nyata kehadirannya.
Marhaenisme, sebagaimana dikatakan oleh Laifer,
adalah sebuah ideologi alternatif. Dengan teori sosio-nasionalisme, marhaenisme
adalah sebuah aliran kebangsaan berdasarkan kondisi empiris masyarakat
Indonesia, yang bukan saja terdiri dari kaum petani, tetapi juga merupakan
gambaran dari masyarakat multietnis dan multibudaya. Dengan teori
sosio-demokrasi, marhaenisme bukan saja menyatakan dirinya sebagai suatu jenis
sosialisme, tetapi sosialisme yang juga menganut demokrasi. Boleh dikatakan,
marhaenisme adalah interpretasi orang Indonesia mengenai paham
sosialisme-demokrasi. Lagi pula, sosialisme ala Indonesia itu bukan hanya
marxisme, tetapi juga, menurut Bung Hatta, merujuk pada ajaran Islam dan
nilai-nilai tradisional Indonesia. Dan yang terpenting adalah marhenisme
menolak ateisme, karena, menurut Bung Karno, marhaenisme itu mendasarkan diri
pada kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dewasa ini, di tingkat global, terdapat dua
ideologi yang dominan dan bersaing, tetapi menimbulkan kesan yang berbeda. Di
satu pihak ada kesan kuat bahwa ideologi kapitalisme-demokrasi yang “menang”,
terbukti dari proses liberalisasi perekonomian dunia. Tapi kenyataan lain juga menunjukkan
bahwa partai politik yang memerintah di negara-negara industri maju ternyata
adalah partai yang berhaluan sosialisme-demokrasi. Sebagaimana di Indonesia,
kebijakan politik cenderung liberal, tetapi yang menang dalam pemilu adalah
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan yang mempunyai citra kerakyatan dan
partai wong cilik.
Kini, memang belum jelas apa sebenarnya dasar
ideologis PDI Perjuangan. Cuma, PDI Perjuangan berpotensi besar untuk
mengembangkan ideologi sosialisme-demokrasi, mengingat komponen politik partai
ini adalah Partai Nasional Indonesia dan Megawati adalah putri Bung Karno.
Kehadiran marhaenisme pantas dicatat dalam sejarah
pemikiran sebagai suatu ide besar dari Soekarno. Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Dr. Juwono Sudarsono, sendiri mengatakan bahwa marhenisme cukup sah
sebagai bagian dari ilmu pengetahuan. Cuma, marhaenisme tidak memiliki pemikir
yang mengembangkannya lebih lanjut sebagai teori sosial. Tidak seperti
pemikiran Hatta yang masih dikembangkan oleh Mubyarto, Sri Edi Swasono, dan
Sritua Arief.
Dengan terbitnya buku The Third Way-karya Anthony
Giddens, sosiolog besar abad ini-yang menjadi ideologi Tony Blair, Perdana
Menteri Inggris, marhaenisme merupakan pemikiran yang paling potensial
mendekati gagasan dalam The Third Way. Barangkali marhaenisme digabung dengan
pemikiran Hatta bisa menjadi sebuah konsep semacam The Third Way yang
menjelaskan Pancasila sebagai ideologi alternatif yang bercorak
sosialisme-demokrasi.
*) Pernah dimuat di Majalah TEMPO, No. 18/XXVIII,
4-11 Juli 1999
Marhaenisme menurut hemat saya, merupakan ijtihad politik bung karno untuk membangkitkan gelora perjuangan rakyat melarat melawan kapitalisme kemudian menjadi sebuah ideologi partai PNI-FRONT MARHAEN. Marhaenisme melingkupi seluruh rakyat Indonesia karena tidak ada rakyat Indonesia yang tidak melarat ketika itu. Melarat adalah sebuah penjajahan baik secara fisik atau pikiran. Penjahat kapitalisme secara picik di rasakan oleh rakyat miskin secara material dan penjajahan pikiran di rasakan oleh kaum borjuasi. Bung karno menggagas marhaen ini dasarnya adalah nasionalisme bung karno mencoba menyatukan seluruh rakyat melarat Indonesia untuk melakukan sebuah perlawanan. Marhaenisme bagi saya berbeda jauh dari pada proletariat. Proletariat hanya melingkupi kaum buruh semata tetapi marhaen tidak hanya kaum buruh tetapi seluruh rakyat melarat. Upaya bung karno tersebut juga melahirkan ekonomi berdikari karena ketika bung karno bertemu dengan seorang tani bernama marhaen dan bertanya (sawa, cangkul ) ini milik siapa dan di jawab oleh marhaen ini milik saya dan bung karno kembali bertanya hasilnya di jual atau buat siapa maka di jawab buat makan sendiri. Artinya inilah upaya marhaen menuju ekonomi berdikari. Mohon di koreksi kalau ada kesalahan.
ReplyDelete