Pages

MASA DEPAN PERGURUAN TINGGI ISLAM: SUMBANGAN PEMIKIRAN M. AMIN ABDULLAH.


*Tulisan ini dibuat untuk acara Seminar Nasional 'Islam, Agama-agama dan Nilai Kemanusiaan: 60 Tahun M. Amin Abdullah' pada 16 Oktober 2013 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Gagasan mengenai pembentukan perguruan tinggi Islam di Indonesia, mula-mula dikemukakan oleh Mohammad Natsir (1908-1993) pada akhir dasawarsa ’30-an. Pada pokoknya gagasan itu bertujuan untuk membentuk sarjana dan cendekiawan Muslim yang integral, dalam arti memiliki keseimbangan, seimbang antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum,  dengan cara mendidik di satu pihak, lulusan pesantren dengan ilmu pengetahuan umum, dan di lain pihak mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan tradisional, kepada lulusan sekolah umum model Eropa atau Belanda. Tapi Natsir tidak membahas lebih lanjut, bagaimana terjadinya proses integrasi antara iman dan akal dan antara agama dan ilmu pengetahuan umum. Dengan perkataan lain tidak mengemukakan gagasan mengenai epistemologi Islam khususnya.
Ilmu pengetahuan umum, bertolak dari kajian ontologi yang menghasilkan ilmu pengetahuan positif, sedangkan, ilmu-ilmu keislaman tradisional bertolak dari wahyu Allah dan Sunnah Rasul dan para sahabatnya yang pada dasarnya menghasilkan ilmu tafsir al Qur’an kemudian juga tafsir Hadist, ilmu kalam, ilmu fiqh dan ilmu atau praksis tasawuf. Dewasa ini, terutama oleh Nasir Hamid Abu Zayd (1943-2010), disebut sebagai pengetahuan yang bersumber dari text atau nash yang bertolakbelakang dengan pengetahuan yang bersumber dari pemikiran dan pengalaman manusia. Ilmu pengetahuan itu sendiri adalah suatu himpunan pengetahuan yang sistematis dan koheren yang mengandung derajat kepastian tertentu. Tapi menurut Thomas Kuhn harus telah memperoleh persetujuan dari suatu komunitas ilmuwan yang disebut sebagai paradigma. Dalam pengertian itu, maka pengetahuan dan pemikiran yang bersumber dari wahyu bisa pula berkembang menjadi ilmu pengetahuan.
Di antara keduanya, telah berkembang pula suatu jenis pengetahuan yang disebut filsafat, yaitu pemikiran yang bersifat spekulatif tentang akar-akar suatu masalah atau eksistensi dan perilaku manusia dan gejala-gejala alam dan masyarakat, guna menemukan kebenaran yang sejati atau untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, yang baik dan yang buruk dan yang indah dan yang jelek atau tentang nilai-nilai yang dianut atau dipercaya oleh manusia. Dalam ilmu filsafat terdapat berbagai bidang kajian, misalnya filsafat alam, filsafat manusia, filsafat ketuhanan, filsafat agama, filsafat sosial, filsafat negara, filsafat ilmu, filsafat moral atau etika, filsafat nilai dan filsafat komunikasi. Pencarian pengetahuan seperti itu bisa diperoleh dari wahyu Tuhan yang diyakini kebenarannya tetapi belum diketahui hakekat dan penjelasannya atau dari pemikiran manusia yang bersifat spekulatif yang sering diterima dengan keraguan. Amin Abdullah dalam pembahasan epistemologinya, menyebut tiga entitas pengetahuan itu yang disebut wilayah atau hadlarah nash (wilayah text suci), hadlarah ilm (wilayah ilmu) dan hadlarah falsafah (wilayah filsafat) khususnya filsafat moral atau etika. Ketiga entitas di atas bisa merupakan suatu kesatuan tunggal, kesatuan-kesatuan yang terpisah dan kesatuan-kesatuan yang saling berhubungan atau bisa disaling-koneksikan (inter-connetion).
Sebagai tambahan, pengajaran agama pada sekolah-sekolah umum, dan pengajaran ilmu pengetahuan umum pada madrasah atau pesantren sebenarnya telah dilaksanakan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah di Indonesia. Tetapi gagasan Natsir mengenai integrasi atau keseimbangan pengetahuan dalam perguruan tinggi, adalah suatu gagasan baru ketika ditulis. Sedangkan gagasan pendidikan integral pada tingkat menengah telah pula dilaksanakan  khususnya model madrasah klasikal yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah yang mendapat inspirasi dari Muhammad Abduh (1849-1905), ulama modernis dari Universitas al Azhar Mesir. Tapi sebelumnya di India, Syed Sir Ahmad Khan (1817-1898), telah mengembangkan model pendidikan perguruan tinggi, yaitu Universitas Aligarh yang lebih menitik-beratkan pada pendidikan ilmu pengetahuan umum atau sains modern. Model pendidikan Aligarh itu telah menghasilkan banyak cendekiawan Muslim, seperti Abul A’la al Maududi (1903-1979), yang pada dasarnya adalah seorang teolog. Gagasan Natsir itu dilaksanakan oleh K.H. Abdul Kahar Mudzakkir (1907-1973), tokoh Muhammadiyah, seorang ahli fiqh dan Mohammad Hatta, seorang ekonom lulusan Universitas Amsterdam Belanda, yang melahirkan Universitas Islam Indonesia (UII).  Perguruan tinggi itu antara lain telah menghasilkan Prof.Dr. Mahfud MD, yang berlatar belakang pendidikan pesantren di Madura dan Dr. Halim Alamsyah, seorang ekonom yang mengembangkan Ekonomi Syariah dalam kedudukannya sebagai Deputi Gubernur Bank Indonesia, yang berlatar belakang pendidikan umum. Ahli fisika lulusan Universitas Gajah Mada yang berlatarbelakang madrasah Mambau’ul Ulum dan pesantren Jamsaren, Solo adalah Prof. Dr. Ahmad Baiquni (1923-1998) dan kawan seangkatannya pada madrasah Mambau’ul Ulum adalah Prof.Dr. Munawir Sjadzali (1925-2004), yang ahli ilmu politik. Sungguhpun begitu, hingga kinipun keterpisahan antar pengetahuan dan sebaliknya, anggapan bahwa ilmu pengetahuan itu sebenarnya sudah terkandung dalam entitas tunggal, yaitu nash sebagai “pengetahuan sejati” masih merupakan realitas, khususnya di Dunia Islam.
Di sisi lain, berasal dari perguruan tinggi ilmu hukum Islam “Sekolah Tinggi Hukum Agama” yang dibentuk di Yogya dan berkembang menjadi Insititut Agama Islam Negeri (IAIN) masih merupakan lembaga pendidikan agama berbentuk Institut. Sedangkan wujud baru IAIN sejak 2004 menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) itu sebenarnya merupakan perwujudan gagasan Natsir. Kelembagaan UIN itu sebenarnya sudah dipersiapkan secara komprehensif sejak 2002, sebagai lembaga pendidikan yang mengintegrasikan ilmu-ilmu keagamaan tradisional dan ilmu pengetahuan umum atau sains dan teknologi. IAIN telah menghasilkan ahli-ahli ilmu sosial dan humaniora, tetapi setelah menempuh tambahan pendidikan di univerrsitas-universitas Eropa, Amerika Utara, khususnya AS dan Kanada dan Australia. Tapi M. Amin Abdullah, mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta bersama-sama dengan Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tanggerang, sekarang, adalah lulusan “Institut Technologi Ankara” (The Ankara Technological Insitute), Turki, yang mengajarkan prinsip pemisahan antara ilmu agama dan pengetahuan umum atau sekularisme. Disertasi Amin Abdullah adalah mengenai etika dalam perbandingannya antara pandangan Al Ghazali (1058-1111) dan Emmanuel Kant (1724-1804). Al Ghazali adalah ahli ilmu kalam atau teologi Islam, sedangkan Emmanuel Kant adalah filsuf sosial Pencerahan (Aufklarung) Jerman dan ahli metafisika. Kedua ilmu itu berdasarkan epistemologi yang berbeda, bahkan bertolak belakang. Tapi menurut Mohammad Iqbal (1879-1938), metafisika sudah berkembang di Persia, yang merupakan penerusan dari tradisi Mu’tazilah yang sudah mengintegrasikan ilmu-ilmu keagamaan tradisional dengan filsafat Yunani yang rasional. Karya disertasi Amin Abdullah itu adalah merupakan hasil penerapan epistemologi yang menghubungkan pengetahuan kewahyuan dan pengetahuan umum atau filsafat. Pemikiran al Ghazali, khususnya dalam buku “Ihya Ulumuddin” yang berisikan berbagai aspek pengetahuan itu, adalah puncak pemikiran dalam ilmu kewahyuan. Sedangkan pemikiran Kant adalah wacana pembebasan manusia dari dogma-dogma keagamaan yang mengekang atau mengangkangi kebebasan dan kemandirian berfikir. Kedua pemikiran yang bertolak belakang itu diperbandingkan oleh Amin Abdullah dalam pembahasannya mengenai etika.
Hubungan antara agama dan ilmu pengetahuan itu mengandung beberapa pendapat. Pertama adalah pendapat bahwa wahyu adalah hakekat ilmu atau ilmu yang sejati yang diajarkan langsung oleh Tuhan sebagai sumber segala pengetahuan yang benar kepada manusia, sedangkan ilmu pengetahuan umum berfungsi menjelaskan wahyu Tuhan. Kedua adalah pendapat bahwa, ilmu pengetahuan umum adalah hasil pemikiran manusia yang kebenarannya bersifat relatif, dan karena itu harus diverifikasi oleh wahyu sebagai al furqon atau kriteria pembeda antara yang salah dan yang benar, yaitu al Qur’an. Dengan demikian, sebenarnya Islam memiliki pengertian tersendiri mengenai ilmu yang mencakup ilmu Tuhan dan ilmu sebagai hasil pemikiran manusia. Ketiga adalah pandangan bahwa ilmu pengetahuan umum itu bisa menemukan kebenaran yang sama dengan ilmu kewahyuan atau syariat sebagai hukum-hukum Illahi. Keempat, agama itu adalah sejenis mitos yang bertentangan dan tidak bisa dipertemukan dengan ilmu pengetahuan hasil pemikiran rasional dan empiris manusia. Dengan demikian timbul dikotomi pandangan, di satu pihak yang menganggap text wahyu atau nash sebagai ilmu sejati. Di lain pihak pandangan bahwa ilmu pengetahuan itu bersumber dari pengalaman dan pemikiran manusia, sedangkan text wahyu atau nash bukanlah ilmu pengetahuan.
Ketika faham modernisme diperkenalkan atau diketahui oleh kalangan pemuka agama timbul beberapa sikap. Sikap pertama, adalah menentang ilmu pengetahuan modern, khususnya ilmu kealaman seperti teori Darwin mengenai evolusi alam semesta termasuk manusia sebagai makhluk biologis. Sikap itu mula-mula lahir dari kalangan Yahudi dan Kristen, tetapi ditanggapi secara dingin oleh kalangan ulama Islam karena kepercayaan bahwa al Qur’an itu tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Tapi baru belakangan, kalangan ulama mulai menentang dan membuktikan kesalahan teori ilmiah semacam Darwinisme, sebagaimana ditulis oleh Harun Yahya dalam banyak bukunya. Sejak itu mulai timbul pandangan tentang dikotomi antara ilmu-ilmu keagamaan tradisional dengan sains dan teknologi modern sejak Newton (1642-1727) yang dengan penemuannya mengenai hukum gratifasi dan hukum gerak alam semesta yang teratur telah memberikan pengaruh revolusioner, tidak saja terhadap ilmu kealaman tetapi juga terhadap ilmu-ilmu sosial positif yang melihat perilaku masyarakat seperti perilaku alam dalam paham naturalisme.
Tapi di Indonesia sendiri lahir sikap atau pandangan lain, yaitu pandangan mengenai keseimbangan antara iman dan akal dan antara agama dan ilmu pengetahuan, sebagaimana dicanangkan dalam doktrin Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang dibentuk pada tahun 1947. Doktrin itu menggambarkan visi kemahasiswaan Muslim yang telah dirintis oleh para mahasiswa Muslim asuhan Haji Agus `Salim dalam organisasi Islam Studenten Studieclub (ISS) dengan majalahnya “al Nur” atau “Het leit” yang didirikan pada tahun 1933. Dalam doktrin itu masih terkandung pengertian tentang keterpisahan atau perbedaan yang mendasar antara dua entitas ilmu itu. Praktek dari doktrin itu adalah, agar para pelajar Muslim mempelajari secara seimbang, ilmu pengetahuan umum dan ilmu-ilmu keagamaan tradisional. Dalam pandangan itu tidak terkandung pandangan mengenai “integrasi ilmu”.
Gagasan mengenai “integrasi” itu, belakangan dikoreksi. Yang dianggap lebih benar adalah “re-integrasi” karena menurut kalangan tertentu, al Qur’an sendiri sudah mengandung integarsi ilmu itu. Dalam al Qur’an dikatakan bahwa barang siapa ingin memperoleh kebahagiaan dunia diperlukan ilmu. Demikian pula jika menginginkan kebahagiaan akhirat. Jika keduanya ingin diperoleh, maka kedua ilmu itu diperlukan pula untuk dipelajari dan diamalkan. Integrasi itu telah pula terjadi pada Abad Pertengahan di masa keemasan peradaban Islam, ketika Dunia Islam, dalam proses pengembangan ilmu-ilmu keagamaan, telah menerima proses Helinisasi atau pengaruh filsafat Yunani. Namun dalam pendidikan, pada dasarnya yang diselenggarakan adalah pendidikan ilmu-ilmu keagamaan tradisional. Tapi kemudian, pada akhir Abad Pertengahan, sekitar abad ke 15, telah terjadi pemisahan dan dominasi ilmu-ilmu keagamaan di Dunia Islam, sedangkan wacana filsafat Yunani diteruskan di Eropa yang berkembang menjadi sains dan teknologi modern. Atas dasar sejarah ilmu itu, maka umat Islam kontemporer menginginkan terjadinya proses re-integrasi ilmu, walaupun dalam konstalasi yang berbeda. Proses pemisahan itu telah berlangsung sangat jauh, sehingga re-integrasi tidak lagi mudah atau sederhana dan lebih kompleks, pertama  karena telah terjadi pembentukan epistemologi baru, kedua terjadinya berbagai revolusi pengetahuan yang melahirkan paradigma-paradigma baru, dan ketiga, terjadinya proses spesialisasi, baik dalam ilmu-ilmu kealaman, sosial dan humanoria. Namun kelahiran ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang beragam itu telah dipelopori oleh ilmuwan Muslim, Ibn Khaldun. Dalam ilmu-ilmu keagamaanpun, sebagaimana diuraikan oleh Nurcholish Madjid (1939-2005) telah terjadi perkembangan epistemologi, walaupun belum terumuskan secara ilmiah sampai muncul pemikiran Mohammed Abed al Jabiri (1936-2010) dari Maroko, tentang nalar bayani (tekstual), burhani (rasional) dan irfani (spiritual), walaupun ia  sebenarnya hanya menginterpretasikan kembali epistemologi ilmu-ilmu keagamaan tradisional.
Persepsi dikotomi itu lebih menajam dengan timbulnya isu sekularisme dan sekularisasi, sebagai keharusan di Dunia Islam jika ingin meraih kemajuan atau mengalami proses modernisasi. Pengertian asli atau awal sekularisme itu sendiri adalah pandangan yang mementingkan kehidupan sekarang ini juga (saeculum) dengan konsekuensi mengabaikan kehidupan masa lampau dan tidak memikirkan atau percaya kepada kehidupan akhirat yang disebut eskatologi itu. Timbulnya ideologi sebagai ilmu tentang cita-cita masa depan adalah bagian dari sekularisme itu. Tapi ideologi itu pun dibedakan dengan utopia yang dipahami sebagai suatu impian yang tidak realistis atau idealisme dan bukan ideologi sebagai utopia yang realistis (realistic utopia), sebagaimana dikatakan oleh Johan Galtung. Karena itu timbul pemikiran, misalnya dari Natsir untuk menggagas Islam sebagai suatu ideologi, dalam bukunya “Islam Sebagai Ideologi” (1950), yakni cita-cita yang mungkin dapat dicapai atau direalisasikan.
Tapi praxis pandangan itu ada dua. Pertama adalah pemisahan antara agama dan ilmu pengetahuan yang cenderung mengabaikan agama. Kedua adalah pemisahan antara otoritas keagamaan dan otoritas politik atau negara, tetapi cenderung untuk menghapuskan, memarginalisasi atau mengkooptasi otoritas keagamaan oleh negara. Proses sekularisasi itu telah terjadi di Dunia Barat yang Kristen, namun, sekularisme sebagai ideologi tertutup tidak sepenuhnya diterima dan dijalankan dalam intensitas yang berbeda-beda di antara negara-negara Barat sendiri.
Reaksi yang keras terhadap sekularisme oleh umat Islam timbul, ketika terjadi Revolusi Turki 1924 yang menganut sekularisme dalam bentuknya yang paling ektrim, yaitu mengikuti model Prancis. Sekularisme dalam masyarakat Islam itu dijalankan sampai pada penggantian adzan dari bahasa Arab ke bahasa Turki dan pelarangan praktek tarekat yang sebenarnya merupakan kekayaan rohani bangsa Turki yang istimewa di Dunia Islam. Bahkan Negara Turki sekuler yang dipertahankan oleh kekuatan militer, sebagaimana di Prancis melarang pemakaian simbol-simbol keagamaan di arena publik, misalnya pakian jilbab bagi perempuan, walaupun baru-baru ini larangan itu telah dicabut oleh Pemerintah Erdogan. Sekularisme dalam bentuk ini telah bertentangan dengan liberalisme dan pluralisme yang merupakan kesatuan ideologi dengan sekularisme. Di AS, pembacaan Injil dan kitab suci lainnya dilarang di sekolah-sekolah publik, apalagi pengajaran agama, walaupun larangan itu telah dicabut di berbagai Negara Bagian (States) sekarang ini. Dengan demikian, sekularisme praktis mengeliminasi kehidupan beragama sampai ke tingkat masyarakat, dan bukannya terbatas di tingkat kenegaraan.
Padahal, menurut Talcott Parsons (1902-1979), sekularisme adalah penyerahan kehidupan atau tatanan keagamaan kepada masyarakat, sehingga melahirkan kebebasan beragama dan pluralisma Agama yang menyatu dengan negara akan menimbulkan ketidak-bebasan beragama itu sendiri dan akan menjadi bebas di lepas ke tangan masyarakat sendiri. Sekularisme juga dipersepsi sebagai menempatkan agama sebagai masalah privat atau pribadi dan mengeluarkannya dari ruang publik. Di ruang privat, beragama berada di wilayah  kebebasan. Liberalisme atau kebebasan politik (Political Liberalism), menurut John Rawls, hanya bisa terjadi jika wacana doktrin-doktrin komprehensif seperti agama, dibendung untuk memasuki ruang publik. Sebab wacana keagamaan akan menghentikan dialog dan komunikasi yang merupakan elemen terpenting dari liberalisme. Wacana agama katanya adalah “conversation stopper” atau menghentikan percakapan.  Dalam al Qur’an, doktrin komprehensif seperti itu bertentangan dengan azas ta’aruf (Q.s. al Hujurat: 23) yaitu prinsip saling belajar dan memahami antar kelompok. Itulah maka filsuf Jerman kontemporer Jurgen Habermas mewacanakan era pasca-sekularisme (post-secularism), yakni membuka kembali pintu dialog antara agama dan sekularisme, agar saling memahami, sesuai dengan prinsip liberalisme yang lebih esensial. Sebenarnya esensi sekularisme dan pluralisme adalah liberalisme atau kebebasan yang dipandang sebagai nilai tertinggi dalam eksistensi manusia. Karena itu bentuk dan praxis sekularisme yang sejati tidak boleh bertentangan dengan liberalisme. Dengan perkataan lain, liberalisme, pluralisme dan sekularisme harus dipahami sebagai atau merupakan satu kesatuan.
Karena itu, maka pemikir Muslim liberal asal Maroko, Rachid al Gamaochi, membedakan sekularisme yang sejati dengan “pseudo-secularism”, yaitu sekularisme yang memberangus kebebasan dan bagian dari kekuasaan otoriter. Ironisnya, sekularisme macam inilah yang dijalankan oleh negara-negara Arab Maghrebi, khususnya Tunisia, yang dimulai dari kepemimpinan Habib Bourgouiba (1903-2000), yang lebih ekstrim dari sekularisme Turki. Sekularisme seperti itu diwujudkan dalam ideologi Arabisme yang sesungguhnya membentuk dan memberikan legitimasi terhadap negara otoriter dan fasisme di Dunia Islam. Sekularisme seperti itu juga dibawakan melalui wacana Sosialisme Arab, sehingga membelokkan Sosialisme yang liberal, humanis dan demokratis menjadi fasisme yang menghapus kebebasan. Dunia Arab Islam dewasa ini pada dasarnya dikuasai oleh dua rezim otoriter, yang berkebalikan yaitu feodalisme-absolut yang menyatukan agama dengan negara dan sebaliknya rezim militer otoriter yang sekular.  Keduanya sama-sama otoriter yang memberangus kebebasan sipil.
Musim semi Arab atau “Arab Spring”  pada dasawarsa kedua abad 21 itu tidak kebetulan jika muncul pertama kali di Tunisia, yang merambat ke Mesir dan kemudian Libia sebagai negara-negara Arab Maghrib. Di ketiga negara itu, revolusi telah terjadi dengan tergulingnya rezim Fasisme Arab Maghreb. Keberhasilan serupa belum terjadi di Arab Masriq atau Arab Timur, karena sekularisme tidak dijalankan secara ekstrim di kawasan itu, walaupun telah mengebiri kebebasan juga, sehingga gejala Arab Spring nampak juga di beberapa negara di kawasan Arab timur itu.
Dari gejala sejarah, terutama dalam menghadapi sekularisme itulah timbul gagasan untuk melakukan integrasi antara agama dan sains dan teknologi. Gagasan ini bisa disebut progresif, karena menerima sains dan teknologi modern, sebagai faktor kemajuan dan kebebasan. Lagi pula gagasan itu sebenarnya sudah mewujud di masa lalu, terkandung dalam al Qur’an maupun Sunnah, dan pernah diwacanakan pada masa kegelapan Islam di Dunia Islam, tetapi kejayaan di Nusantara, oleh ulama Syi’ah, Mullah Sadra (1572-1640). Bahkan ilmu pengetahuan yang sudah integral itu sudah banyak dihasilkan oleh para ulama dan cendekiawan Syiah modern, Murtaza Mutahhari (1919-1979), Mohammad Husein Taba’taba’I (1904-1981) atau Muhammad Baqir al-sadr (1935-1980) dari kalangan ulama dan Ali Syariati (1933-1977) atau AbdolKarim Soroush (l. 1945) dari kalangan cendekiawan.
Pemikiran-pemikiran seperti itu telah pula dilakukan di kalangan cendekiawan Muslim Indonesia, misalnya oleh Mohammad Natsir di bidang poilitik dan Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989) di bidang ekonomi. Tetapi sebagai epistemologi atau metodologi penelitian, belum dirumuskan sebagai filsafat ilmu di lingkungan Islam. Sementara itu di Barat, epistemologi dan prosedur pembentukan ilmu telah dirumuskan dan membentuk paradigma. Sementara itu di lingkungan Islam, yang ditulis barulah ancangan atau gagasan. Dalam kerangka ancangan itu telah lahir beberapa wacana epistemologi.
Pertama adalah gagasan “Islamisasi Pengetahuan” (Islamization of Knowledge” yang mengandung tiga versi. Pertama adalah versi Syed Hossein Nasr (l. 1933) dari kalangan Syi’ah. Dalam versi ini, Islamisasi berarti pendasaran teknologi khususnya sebagai ilmu kealaman terapan dengan etika Islam, khususnya yang bersumber dari tasauf atau ilmu irfani. Kedua adalah versi Ismail Faruqi (1921-1986) yang menerima ilmu pengetahuan umum sebagai bagian dari ilmu dalam pengertian Islam atau warisan kemanusiaan sebagai barang yang hilang kaum muslimin. Tetapi, dalam pengembangannya kemudian perlu dilandasi dengan etika Islam. Dan ketiga adalah versi Syed Muhammad Naquib al-Attas (l.1931) yang berpandangan bahwa pengembangan ilmu secara integratif harus didasarkan pada epistemologi Islam yang perlu dikembangkan dan dirumuskan terlebih dahulu.
Gagasan “Islamisasi” itu ditolak oleh Fazlur Rahman (1919-1988) yang berpendapat bahwa Islamisasi tidak dilakukan terhadap ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan, melainkan Islamisasi dilakukan pada manusia dengan pendidikan ilmu-ilmu keagamaan Islam. Jika seorang ilmuwan telah memiliki iman dan ilmu-ilmu keagamaan tradisional itu, maka ilmu pengetahuan yang dilahirkannya akan dengan sendirinya diwarnai diwarnai oleh keimanan dan ilmunya itu. Masalahnya adalah terdapatnya perbedaan antara epistemologi dalam ilmu-ilmu keislaman tradisional dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, sehingga ilmu pengetahuan yang didasarkan pada wahyu belum tentu bisa diterapkan untuk menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Sebagai contoh, wacana mengenai ilmu-ilmu kealaman yang diyakini terkandung dalam atau diilhami oleh al Qur’an, hanyalah wacana yang bertujuan untuk menunjukkan mukjizat al Qur’an dan kebenaran wahyu dan tidak menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat dalam kehidupan manusia, misalnya tulisan yang menunjukkan bahwa dalam al Qur’an terkandung hitung-hitungan yang berkelipatan 19.
Gagasan Islamisasi itu di Indonesia juga ditolak oleh Kuntowidjojo (1943-2005). Ia berpendapat sebaliknya, bahwa yang dibutuhkan bukannya “Islamisasi Pengetahuan” melainkan “saintifikasi Islam” yang dimulai dengan obyektifikasi ajaran-ajaran Islam. Konsekuensi dari pandangan ini adalah, penggunaan epistemologi Barat dalam kajian Islam. Dalam kerangka pandangan itu, ia juga telah menolak “teologi” yaitu teologi transformatif yang ia usulkan untuk dikembangkan oleh Muslim Abdurrahman (1948-2012) dengan alasan bahwa teologi adalah ilmu keagamaan Kristen yang tidak dikenal di kalangan Muslim karena tidak sama dengan pengertian ilmu kalam, ilmu usuluddin atau ilmu tauhid yang intinya adalah ilmu ketuhanan dan bukan Imu kemanusiaan atau sosial, sementara itu, teologi Kristen mencakup ilmu kemanusiaan. Persepsi Kuntowidjojo itu tidak tepat, karena ilmu kalam atau usuluddin itu bersumber dari konflik politik yang menimbulkan tiga aliran besar yang menyangkut pemikiran dan gerakan politik dan kepemimpinan, yaitu al Khawarij, Syi’ah dan Murji’ah, walaupun dalam perkembangannya kemudian menjurus kepada ilmu ketuhanan, tetapi di lingkungan Syi’ah yang melahirkan aliran Mu’tazilah di Abad Pertengahan itu, juga mencakup masalah-masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan, sebagaimana dicerminkan dalam karya al Farabi (872-950) “al Madinah al Fadilah”, walaupun karya itu lebih dinilai sebagai karya filsafat, tetapi dikaitkan dengan kelahiran ilmu kalam, karya itu dapat disebut juga sebagai teologi, karena bersifat prophetik. Dalam versi apapun, proses Islamisasi telah terjadi sebagai respon terhadap gejala sekularisme dan sekularisasi.
Dalam tesis masternya, Yudi Latif di Australian National University (ANU) mengatakan, bahwa di Indonesia memang telah terjadi proses sekularisasi sebagaimana dianjurkan oleh Nurcholish Madjid. Tetapi dalam waktu yang sama telah terjadi pula proses Islamisasi, dalam arti positif maupun negatif. Dalam arti negatif (pejoratrive), adalah berkembangnya faham fundamentalisme agama. Dalam arti positif adalah terjadinya usaha pendasaran terhadap ilmu dan kegiatan masyarakat dengan nilai-nilai moral dan etika keagamaan Islam.
Dengan demikian, maka wacana Islamisasi pengetahuan maupun saintifikasi Islam adalah dua jurusan menuju kepada integrasi ilmu. Di lingkungan ilmu ekonomi di Indonesia, Mubyarto (1938-2005) telah mewacanakan perlunya pendekatan antar disiplin (inter-disciplinary) dan multi disiplin (multi-disciplinary) dalam memahami dan memecahkan persoalan-persoalan ekonomi yang dimulai dengan hipotesa hakekat manusia, apakah sebagai homo-economicus ataukah juga homo-socius dan homo ethicus atau homo religious. Dalam wacana ini terkandung juga gagasan mengenai dimasukkannya ajaran agama atau filsafat etika sebagai bagian dari disiplin ilmu untuk memahami persoalan-persoalan ekonomi.
Dalam pemikiran Ekonomi Islam, telah lahir sebuah pemikiran baru dari Nawab Haedar Naqwi (l. 1935) dalam bukunya “Ethics and Econimics: An Islamic Synthesis” (1981), yang ingin mengembangkan ilmu Ekonomi Islam dengan titik tolak asumsi mengenai hakekat manusia. Berbeda dengan asumsi tentang hakekat manusia dalam ilmu ekonomi konvensional, Naqwi berpandangan bahwa manusia menurut wahyu adalah manusia “teo-morfis” atau “manusia penaka Tuhan” dalam istilah Bahrum Rangkuti (1919-1977) terhadap pandangan manusia Mohammad Iqbal (1877-1938) yang yakni manusia yang memiliki potensi ketuhanan, atau dalam teologi Kristen, manusia yang diciptakan dalam citra Tuhan.
Konsekuensi dari teori Naqwi itu adalah “membalik ujung menjadi pangkal” dalam proses pembentukan ilmu pengetahuan positif. Dalam ilmu pengetahuan positif, wacana dimulai dengan ontologi, yaitu deskripsi mengenai kondisi dan analisis mengenai persoalan-persoalan yang nampak dalam masyarakat atau alam semesta, kemudian dilanjutkan dengan pencarian cara pemahaman dan pemecahan masalah yang disebut epistemologi dan akhirnya dirumuskan nilai guna, hasil dan tujuan dari pencarian ilmu pengetahuan itu, yang disebut sebagai aksiologi. Oleh Naqwi proses itu dibalik. Ia memulainya dengan analisis aksiologi dengan merumuskan aksioma-aksioma yang dengan epistemologi ilmu pengetahuan positif, dicari data-datanya melalui penelitian empiris dan historis sebagai cermin realitas. Di situ ia menjungkir-balikkan pengertian tentang ilmu pengetahuan positif dan normatif yang konvensional. Di satu pihak ia bertolak dari norma, tetapi kemudian merumuskan ilmu pengetahuan berdasarkan fakta dan data empiris dan historis. Dalam Ekonomi Islam umpamanya, ia mengemukakan empat nilai fundamental sebagai norma dasar, yaitu tauhid, keadilan dan kebaikan (al adl wa al ihsan), keseimbangan (al mizan) dan tanggung-jawab atau kewajiban (al fard). Pandangannya itu berbeda dengan epistemologi ilmu Ekonomi Islam pada umumnya, yang bertolak dari kaidah-kaidah atau ketentuan-ketentuan hukum syariat, sehingga ilmu Ekonomi Islam disebut juga ilmu Ekonomi Syariah.
Dalam pemikirannya mengenai sistem pendidikan tinggi Islam itu, Amin Abdullah, -- satu-satunya Rektor UIN yang memikirkan pengembangan sistem pendidikan berdasarkan konsep epistemologi --, telah memberikan sumbangan penting. Pertama-tama, sebagai seorang ahli ilmu-ilmu keagamaan tradisional, ia mengemukakan pandangannya mengenai orientasi ilmu yang menggabungkan dan dengan demikian menghilangkan dikotomi antara orientasi ketuhanan (theo-sentrisme) dan orientasi kemanusiaan (antroposentrisme) yang disebutnya Theo-antroprosentrisme” yang integral.
Kedua ia mengemukakan pandangannya yang berbeda dengan pengertian “intregrasi ilmu” dengan teori inter-koneksitas antar disiplin ilmu atau program studi yang pernah di-skemakan dalam gambar yang mirip sarang laba-laba dalam jurnal IAIN Sunan Kalijaga, “al Jami’ah” (2006). Dalam teorinya, ia mengemukakan tiga pandangan mengenai hubungan antar disiplin ilmu yang berujung pada teori interkoneksitas. Teori inter-koneksitasnya itu mirip dengan teori al Farabi tentang negara dan masyarakat, tetapi diterapkannya dalam entitas ilmu yang menempatkan agama atau wahyu sebagai inti atau jiwa yang menjadi titik orientasi semua disiplin ilmu yang dalam skema sarang laba-labanya, ia letakkan di tengah-tengah sehingga terkoneksi dengan semua disiplin ilmu yang melingkarinya.
Tentang masalah di sekitar integrasi ilmu atau re-integrasi ilmu ia melihat tiga kemungkinan. Pertama dengan memandang text suci atau nash sebagai entitas Ilmu yang tunggal (single entity), dengan pengertian mencakup segala disiplin ilmu. Konsekuensi dari pandangan ini adalah pengabaian terhadap ilmu-ilmu pengetahuan umum yang antropho-sentris. Mengutip ilmuwan Muslim asal Tunisia Ibrahim Moosa, pandangan ini merugikan penganutnya. Ilmu dakwah misalnya memerlukan bantuan ilmu komunikasi yang empiris. Demikian pula hukum mu’amalat memerlukan teori ekonomi. Sedangkan fiqih siyasah memerlukan ilmu politik dan kenegaraan. Karena itu diperlukan diferensiasi atau “sekularisasi”.
Kedua yang memandang berbagai disiplin atau teori ilmu pengetahuan sebagai entittas yang terpisah dan tersendiri (isolated entity). Dalam ilmu pengetahuan sosial umpamanya, berbagai ilmu-ilmu sosial adalah merupakan dan dipakai secara terpisah, seolah-olah tak ada hubungannya. Ini bertentangan dengan kenyataan yang tertulis dalam berbagai buku dari setiap disiplin ilmu yang selalu mengandung unsur disiplin imu yang lain, misalnya antara ilmu ekonomi dengan ilmu politik atau sosiologi, sehingga lahir misalnya buku sosiologi ekonomi karya Max Weber (1864-1920) dalam bukunya “Economy and Society”(1923). Hatta seorang ekonom, juga menulis buku yang berjudul “Sosiologi Ekonomi” (1956). Karena itu di lingkungan ilmu-ilmu sosial timbul pula gagasan integrasi antar disiplin ilmu-ilmu social.
Sungguhpun begitu, disiplin ilmu yang merupakan spesialisasi, tetap perlu dipertahankan, jika tidak, maka berbagai disiplin ilmu akan menghilang atau berhenti berkembang. Karena itu yang diperlukan bukannya “integrasi ilmu” atau “re-integrasi ilmu”, melainkan inter-koneksi ilmu sebagaimana dikemukakan oleh M. Amin Abdullah. Tapi dalam inter-koneksi itu, akan timbul bagian yang terintegrasi yang disebut secara matematis sebagai “inter-section”. Dalam teorinya mengenai sistem keilmuan di lingkungan UIN ia berpendapat bahwa UIN adalah wilayah inter-section itu, Bagian itu adalah integrasi antara tiga wilayah ilmu atau hadlarah yaitu hadlarah nash, hadlarah ilm, dan hadlarah falsafah.
Masalahnya adalah, bagaimana perwujudannya dalam sistem pengajaran dan pendidikan. Sistem inter-koneksitas ini sebenarnya telah diterapkan di perguruan tinggi di AS dan Kanada. Mahasiswa bisa memasuki bidang disiplin tertentu sebagai pilihan utama, misalnya ilmu ekonomi. Tetapi ia diberi kesempatan untuk mengambil mata-pelajaran lain sebagai komplemen. Seorang yang mempelajari ilmu fisika, atau psikologi, pada umumnya tertarik untuk mempelajari filsafat karena koneksi erat antar keduanya. Demikian pula seorang mahasiswa ilmu ekonomi biasanya mengambil juga mata-pelajaran ilmu politik atau sosiologi. Kuntowidjojo, pada dasarnya adalah ahli sejarah. Tetapi ia juga juga diakui sebagai ahli sosiologi. Dalam kajian sejarah sosial misalnya, analisis sosiologi diperlukan.
M. Amin Abdullah sempat menjabat Rektor UIN selama dua periode. Tetapi ia belum sempat merealisasikan gagasannya itu. Ia pernah juga memperoleh jabatan Ketua “Majelis Tarjih dan Pemikiran Islam” PP Muhammadiyah yang terbentuk atas usulnya. Tetapi ketika telah menghasilkan suatu konsep mengenai pemikiran Islam, hasil kajiannya itu ditolak untuk diterbitkan oleh PP Muhammadiyah sendiri, karena ketakutan akan menimbulkan kontroversi, sebagaimana disinyalir oleh Nurcholish Madjid mengenai pemikiran pembaharuan, sehingga Majelis itu kembali kepada nama semula sebagai “Majelis Tarjih”  saja tanpa “Pemikiran Islam” . Karena itu maka PP Muhammadiyah tidak dimungkinkan untuk mengembangkan pemikiran yang bersifat pembaharuan menurut gagasan M. Amin Abdullah.
Pemikiran M. Amin Abdullah mengenai epistemologi memberikan peluang bagi lahirnya era pasca-sekularisme yang digagas oleh Habermas. Dengan epistemologi itu, maka yang dikhawatirkan oleh Rawls bahwa doktrin komprehensif agama akan menjadi penghambat bagi liberalisme politik, karena tidak akan menjadi conversation-stoper, berdasarkan azas yang terkandung dalam al Qur’an sendiri, yaitu azas mujadalah, musyawarah dan ta’aruf, yang seharusnya menjadi dasar epistemologi.

                                                  Jakarta, 13 Oktober, 2013.


CATATAN:
M. Dawam Rahardjo adalah Pemimpin Umum dan Ketua Redaksi Jurnal ilmu dan kebudayaan “Ulumul Qur’an”, Ketua Yayasan “Lembaga Studi Agama dan Filsafat” (ELSAF), Rektor “Universitas Proklamasi 45”, Yogyakarta dan Ketua “Lembaga Ekonomi dan Keuangan Syarikat Islam” (LEKSIS). 

0 comments:

Post a Comment