*Tulisan ini dibuat untuk acara Seminar Nasional ' Islam, Agama-agama dan Nilai Kemanusiaan: 60 Tahun M. Amin
Abdullah' pada 16 Oktober 2013 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Gagasan mengenai
pembentukan perguruan tinggi Islam di Indonesia, mula-mula dikemukakan oleh
Mohammad Natsir (1908-1993) pada akhir dasawarsa ’30-an. Pada pokoknya gagasan
itu bertujuan untuk membentuk sarjana dan cendekiawan Muslim yang integral,
dalam arti memiliki keseimbangan, seimbang antara pengetahuan agama dan
pengetahuan umum, dengan cara mendidik
di satu pihak, lulusan pesantren dengan ilmu pengetahuan umum, dan di lain
pihak mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan tradisional, kepada lulusan sekolah umum
model Eropa atau Belanda. Tapi Natsir tidak membahas lebih lanjut, bagaimana
terjadinya proses integrasi antara iman dan akal dan antara agama dan ilmu
pengetahuan umum. Dengan perkataan lain tidak mengemukakan gagasan mengenai
epistemologi Islam khususnya.
Ilmu pengetahuan
umum, bertolak dari kajian ontologi yang menghasilkan ilmu pengetahuan positif,
sedangkan, ilmu-ilmu keislaman tradisional bertolak dari wahyu Allah dan Sunnah
Rasul dan para sahabatnya yang pada dasarnya menghasilkan ilmu tafsir al Qur’an
kemudian juga tafsir Hadist, ilmu kalam, ilmu fiqh dan ilmu atau praksis tasawuf.
Dewasa ini, terutama oleh Nasir Hamid Abu Zayd (1943-2010), disebut sebagai pengetahuan yang bersumber dari text atau nash yang bertolakbelakang dengan pengetahuan yang bersumber dari
pemikiran dan pengalaman manusia. Ilmu pengetahuan itu sendiri adalah suatu
himpunan pengetahuan yang sistematis dan koheren yang mengandung derajat
kepastian tertentu. Tapi menurut Thomas Kuhn harus telah memperoleh persetujuan
dari suatu komunitas ilmuwan yang disebut sebagai paradigma. Dalam pengertian
itu, maka pengetahuan dan pemikiran yang bersumber dari wahyu bisa pula berkembang
menjadi ilmu pengetahuan.
Di antara
keduanya, telah berkembang pula suatu jenis pengetahuan yang disebut filsafat,
yaitu pemikiran yang bersifat spekulatif tentang akar-akar suatu masalah atau
eksistensi dan perilaku manusia dan gejala-gejala alam dan masyarakat, guna
menemukan kebenaran yang sejati atau untuk membedakan mana yang benar dan mana
yang salah, yang baik dan yang buruk dan yang indah dan yang jelek atau tentang
nilai-nilai yang dianut atau dipercaya oleh manusia. Dalam ilmu filsafat
terdapat berbagai bidang kajian, misalnya filsafat alam, filsafat manusia,
filsafat ketuhanan, filsafat agama, filsafat sosial, filsafat negara, filsafat
ilmu, filsafat moral atau etika, filsafat nilai dan filsafat komunikasi. Pencarian
pengetahuan seperti itu bisa diperoleh dari wahyu Tuhan yang diyakini
kebenarannya tetapi belum diketahui hakekat dan penjelasannya atau dari
pemikiran manusia yang bersifat spekulatif yang sering diterima dengan
keraguan. Amin Abdullah dalam pembahasan epistemologinya, menyebut tiga entitas
pengetahuan itu yang disebut wilayah atau hadlarah
nash (wilayah text suci), hadlarah
ilm (wilayah ilmu) dan hadlarah
falsafah (wilayah filsafat) khususnya filsafat moral atau etika. Ketiga
entitas di atas bisa merupakan suatu kesatuan tunggal, kesatuan-kesatuan yang
terpisah dan kesatuan-kesatuan yang saling berhubungan atau bisa disaling-koneksikan
(inter-connetion).
Sebagai tambahan,
pengajaran agama pada sekolah-sekolah umum, dan pengajaran ilmu pengetahuan
umum pada madrasah atau pesantren sebenarnya telah dilaksanakan pada tingkat
pendidikan dasar dan menengah di Indonesia. Tetapi gagasan Natsir mengenai
integrasi atau keseimbangan pengetahuan dalam perguruan tinggi, adalah suatu
gagasan baru ketika ditulis. Sedangkan gagasan pendidikan integral pada tingkat
menengah telah pula dilaksanakan khususnya model madrasah klasikal yang
dilaksanakan oleh Muhammadiyah yang mendapat inspirasi dari Muhammad Abduh (1849-1905),
ulama modernis dari Universitas al Azhar Mesir. Tapi sebelumnya di India, Syed
Sir Ahmad Khan (1817-1898), telah mengembangkan model pendidikan perguruan
tinggi, yaitu Universitas Aligarh yang lebih menitik-beratkan pada pendidikan
ilmu pengetahuan umum atau sains modern. Model pendidikan Aligarh itu telah
menghasilkan banyak cendekiawan Muslim, seperti Abul A’la al Maududi (1903-1979),
yang pada dasarnya adalah seorang teolog. Gagasan Natsir itu dilaksanakan oleh
K.H. Abdul Kahar Mudzakkir (1907-1973), tokoh Muhammadiyah, seorang ahli fiqh
dan Mohammad Hatta, seorang ekonom lulusan Universitas Amsterdam Belanda, yang
melahirkan Universitas Islam Indonesia (UII).
Perguruan tinggi itu antara lain telah menghasilkan Prof.Dr. Mahfud MD,
yang berlatar belakang pendidikan pesantren di Madura dan Dr. Halim Alamsyah,
seorang ekonom yang mengembangkan Ekonomi Syariah dalam kedudukannya sebagai
Deputi Gubernur Bank Indonesia, yang berlatar belakang pendidikan umum. Ahli
fisika lulusan Universitas Gajah Mada yang berlatarbelakang madrasah Mambau’ul
Ulum dan pesantren Jamsaren, Solo adalah Prof. Dr. Ahmad Baiquni (1923-1998) dan
kawan seangkatannya pada madrasah Mambau’ul Ulum adalah Prof.Dr. Munawir Sjadzali
(1925-2004), yang ahli ilmu politik. Sungguhpun begitu, hingga kinipun
keterpisahan antar pengetahuan dan sebaliknya, anggapan bahwa ilmu pengetahuan
itu sebenarnya sudah terkandung dalam entitas tunggal, yaitu nash sebagai “pengetahuan sejati” masih
merupakan realitas, khususnya di Dunia Islam.
Di sisi lain,
berasal dari perguruan tinggi ilmu hukum Islam “Sekolah Tinggi Hukum Agama”
yang dibentuk di Yogya dan berkembang menjadi Insititut Agama Islam Negeri
(IAIN) masih merupakan lembaga pendidikan agama berbentuk Institut. Sedangkan
wujud baru IAIN sejak 2004 menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) itu sebenarnya
merupakan perwujudan gagasan Natsir. Kelembagaan UIN itu sebenarnya sudah
dipersiapkan secara komprehensif sejak 2002, sebagai lembaga pendidikan yang
mengintegrasikan ilmu-ilmu keagamaan tradisional dan ilmu pengetahuan umum atau
sains dan teknologi. IAIN telah menghasilkan ahli-ahli ilmu sosial dan
humaniora, tetapi setelah menempuh tambahan pendidikan di univerrsitas-universitas
Eropa, Amerika Utara, khususnya AS dan Kanada dan Australia. Tapi M. Amin
Abdullah, mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta bersama-sama dengan
Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tanggerang, sekarang,
adalah lulusan “Institut Technologi Ankara” (The Ankara Technological Insitute), Turki, yang mengajarkan prinsip
pemisahan antara ilmu agama dan pengetahuan umum atau sekularisme. Disertasi
Amin Abdullah adalah mengenai etika dalam perbandingannya antara pandangan Al
Ghazali (1058-1111) dan Emmanuel Kant (1724-1804). Al Ghazali adalah ahli ilmu
kalam atau teologi Islam, sedangkan Emmanuel Kant adalah filsuf sosial
Pencerahan (Aufklarung) Jerman dan
ahli metafisika. Kedua ilmu itu berdasarkan epistemologi yang berbeda, bahkan
bertolak belakang. Tapi menurut Mohammad Iqbal (1879-1938), metafisika sudah
berkembang di Persia, yang merupakan penerusan dari tradisi Mu’tazilah yang
sudah mengintegrasikan ilmu-ilmu keagamaan tradisional dengan filsafat Yunani
yang rasional. Karya disertasi Amin Abdullah itu adalah merupakan hasil
penerapan epistemologi yang menghubungkan pengetahuan kewahyuan dan pengetahuan
umum atau filsafat. Pemikiran al Ghazali, khususnya dalam buku “Ihya Ulumuddin” yang berisikan berbagai
aspek pengetahuan itu, adalah puncak pemikiran dalam ilmu kewahyuan. Sedangkan
pemikiran Kant adalah wacana pembebasan manusia dari dogma-dogma keagamaan yang
mengekang atau mengangkangi kebebasan dan kemandirian berfikir. Kedua pemikiran
yang bertolak belakang itu diperbandingkan oleh Amin Abdullah dalam pembahasannya
mengenai etika.
Hubungan antara
agama dan ilmu pengetahuan itu mengandung beberapa pendapat. Pertama adalah pendapat bahwa wahyu
adalah hakekat ilmu atau ilmu yang sejati yang diajarkan langsung oleh Tuhan sebagai
sumber segala pengetahuan yang benar kepada manusia, sedangkan ilmu pengetahuan
umum berfungsi menjelaskan wahyu Tuhan. Kedua
adalah pendapat bahwa, ilmu pengetahuan umum adalah hasil pemikiran manusia yang
kebenarannya bersifat relatif, dan karena itu harus diverifikasi oleh wahyu
sebagai al furqon atau kriteria
pembeda antara yang salah dan yang benar, yaitu al Qur’an. Dengan demikian,
sebenarnya Islam memiliki pengertian tersendiri mengenai ilmu yang mencakup
ilmu Tuhan dan ilmu sebagai hasil pemikiran manusia. Ketiga adalah pandangan bahwa ilmu pengetahuan umum itu bisa
menemukan kebenaran yang sama dengan ilmu kewahyuan atau syariat sebagai
hukum-hukum Illahi. Keempat, agama
itu adalah sejenis mitos yang bertentangan dan tidak bisa dipertemukan dengan
ilmu pengetahuan hasil pemikiran rasional dan empiris manusia. Dengan demikian
timbul dikotomi pandangan, di satu pihak yang menganggap text wahyu atau nash
sebagai ilmu sejati. Di lain pihak pandangan bahwa ilmu pengetahuan itu
bersumber dari pengalaman dan pemikiran manusia, sedangkan text wahyu atau nash
bukanlah ilmu pengetahuan.
Ketika faham
modernisme diperkenalkan atau diketahui oleh kalangan pemuka agama timbul
beberapa sikap. Sikap pertama, adalah menentang ilmu pengetahuan modern,
khususnya ilmu kealaman seperti teori Darwin mengenai evolusi alam semesta
termasuk manusia sebagai makhluk biologis. Sikap itu mula-mula lahir dari
kalangan Yahudi dan Kristen, tetapi ditanggapi secara dingin oleh kalangan
ulama Islam karena kepercayaan bahwa al Qur’an itu tidak bertentangan dengan
ilmu pengetahuan. Tapi baru belakangan, kalangan ulama mulai menentang dan
membuktikan kesalahan teori ilmiah semacam Darwinisme, sebagaimana ditulis oleh
Harun Yahya dalam banyak bukunya. Sejak itu mulai timbul pandangan tentang
dikotomi antara ilmu-ilmu keagamaan tradisional dengan sains dan teknologi
modern sejak Newton (1642-1727) yang dengan penemuannya mengenai hukum gratifasi
dan hukum gerak alam semesta yang teratur telah memberikan pengaruh
revolusioner, tidak saja terhadap ilmu kealaman tetapi juga terhadap ilmu-ilmu
sosial positif yang melihat perilaku masyarakat seperti perilaku alam dalam
paham naturalisme.
Tapi di Indonesia
sendiri lahir sikap atau pandangan lain, yaitu pandangan mengenai keseimbangan
antara iman dan akal dan antara agama dan ilmu pengetahuan, sebagaimana
dicanangkan dalam doktrin Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang dibentuk pada
tahun 1947. Doktrin itu menggambarkan visi kemahasiswaan Muslim yang telah
dirintis oleh para mahasiswa Muslim asuhan Haji Agus `Salim dalam organisasi Islam Studenten Studieclub (ISS) dengan
majalahnya “al Nur” atau “Het leit” yang didirikan pada tahun
1933. Dalam doktrin itu masih terkandung pengertian tentang keterpisahan atau
perbedaan yang mendasar antara dua entitas ilmu itu. Praktek dari doktrin itu
adalah, agar para pelajar Muslim mempelajari secara seimbang, ilmu pengetahuan
umum dan ilmu-ilmu keagamaan tradisional. Dalam pandangan itu tidak terkandung
pandangan mengenai “integrasi ilmu”.
Gagasan mengenai
“integrasi” itu, belakangan dikoreksi. Yang dianggap lebih benar adalah “re-integrasi”
karena menurut kalangan tertentu, al Qur’an sendiri sudah mengandung integarsi
ilmu itu. Dalam al Qur’an dikatakan bahwa barang siapa ingin memperoleh
kebahagiaan dunia diperlukan ilmu. Demikian pula jika menginginkan kebahagiaan
akhirat. Jika keduanya ingin diperoleh, maka kedua ilmu itu diperlukan pula
untuk dipelajari dan diamalkan. Integrasi itu telah pula terjadi pada Abad
Pertengahan di masa keemasan peradaban Islam, ketika Dunia Islam, dalam proses
pengembangan ilmu-ilmu keagamaan, telah menerima proses Helinisasi atau
pengaruh filsafat Yunani. Namun dalam pendidikan, pada dasarnya yang
diselenggarakan adalah pendidikan ilmu-ilmu keagamaan tradisional. Tapi kemudian,
pada akhir Abad Pertengahan, sekitar abad ke 15, telah terjadi pemisahan dan
dominasi ilmu-ilmu keagamaan di Dunia Islam, sedangkan wacana filsafat Yunani
diteruskan di Eropa yang berkembang menjadi sains dan teknologi modern. Atas dasar
sejarah ilmu itu, maka umat Islam kontemporer menginginkan terjadinya proses
re-integrasi ilmu, walaupun dalam konstalasi yang berbeda. Proses pemisahan itu
telah berlangsung sangat jauh, sehingga re-integrasi tidak lagi mudah atau sederhana
dan lebih kompleks, pertama karena telah
terjadi pembentukan epistemologi baru, kedua terjadinya berbagai revolusi
pengetahuan yang melahirkan paradigma-paradigma baru, dan ketiga, terjadinya
proses spesialisasi, baik dalam ilmu-ilmu kealaman, sosial dan humanoria. Namun
kelahiran ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang beragam itu telah dipelopori oleh
ilmuwan Muslim, Ibn Khaldun. Dalam ilmu-ilmu keagamaanpun, sebagaimana
diuraikan oleh Nurcholish Madjid (1939-2005) telah terjadi perkembangan
epistemologi, walaupun belum terumuskan secara ilmiah sampai muncul pemikiran
Mohammed Abed al Jabiri (1936-2010) dari Maroko, tentang nalar bayani (tekstual),
burhani (rasional) dan irfani (spiritual), walaupun ia sebenarnya hanya menginterpretasikan kembali
epistemologi ilmu-ilmu keagamaan tradisional.
Persepsi dikotomi
itu lebih menajam dengan timbulnya isu sekularisme dan sekularisasi, sebagai
keharusan di Dunia Islam jika ingin meraih kemajuan atau mengalami proses
modernisasi. Pengertian asli atau awal sekularisme itu sendiri adalah pandangan
yang mementingkan kehidupan sekarang ini juga (saeculum) dengan konsekuensi mengabaikan kehidupan masa lampau dan
tidak memikirkan atau percaya kepada kehidupan akhirat yang disebut eskatologi
itu. Timbulnya ideologi sebagai ilmu tentang cita-cita masa depan adalah bagian
dari sekularisme itu. Tapi ideologi itu pun dibedakan dengan utopia yang
dipahami sebagai suatu impian yang tidak realistis atau idealisme dan bukan ideologi
sebagai utopia yang realistis (realistic
utopia), sebagaimana dikatakan oleh Johan Galtung. Karena itu timbul
pemikiran, misalnya dari Natsir untuk menggagas Islam sebagai suatu ideologi,
dalam bukunya “Islam Sebagai Ideologi” (1950), yakni cita-cita yang mungkin
dapat dicapai atau direalisasikan.
Tapi praxis
pandangan itu ada dua. Pertama adalah pemisahan antara agama dan ilmu pengetahuan
yang cenderung mengabaikan agama. Kedua adalah pemisahan antara otoritas
keagamaan dan otoritas politik atau negara, tetapi cenderung untuk
menghapuskan, memarginalisasi atau mengkooptasi otoritas keagamaan oleh negara.
Proses sekularisasi itu telah terjadi di Dunia Barat yang Kristen, namun,
sekularisme sebagai ideologi tertutup tidak sepenuhnya diterima dan dijalankan
dalam intensitas yang berbeda-beda di antara negara-negara Barat sendiri.
Reaksi yang keras
terhadap sekularisme oleh umat Islam timbul, ketika terjadi Revolusi Turki 1924
yang menganut sekularisme dalam bentuknya yang paling ektrim, yaitu mengikuti
model Prancis. Sekularisme dalam masyarakat Islam itu dijalankan sampai pada penggantian
adzan dari bahasa Arab ke bahasa Turki dan pelarangan praktek tarekat yang sebenarnya
merupakan kekayaan rohani bangsa Turki yang istimewa di Dunia Islam. Bahkan Negara
Turki sekuler yang dipertahankan oleh kekuatan militer, sebagaimana di Prancis
melarang pemakaian simbol-simbol keagamaan di arena publik, misalnya pakian
jilbab bagi perempuan, walaupun baru-baru ini larangan itu telah dicabut oleh
Pemerintah Erdogan. Sekularisme dalam bentuk ini telah bertentangan dengan
liberalisme dan pluralisme yang merupakan kesatuan ideologi dengan sekularisme.
Di AS, pembacaan Injil dan kitab suci lainnya dilarang di sekolah-sekolah publik,
apalagi pengajaran agama, walaupun larangan itu telah dicabut di berbagai
Negara Bagian (States) sekarang ini. Dengan
demikian, sekularisme praktis mengeliminasi kehidupan beragama sampai ke
tingkat masyarakat, dan bukannya terbatas di tingkat kenegaraan.
Padahal, menurut
Talcott Parsons (1902-1979), sekularisme adalah penyerahan kehidupan atau
tatanan keagamaan kepada masyarakat, sehingga melahirkan kebebasan beragama dan
pluralisma Agama yang menyatu dengan negara akan menimbulkan ketidak-bebasan
beragama itu sendiri dan akan menjadi bebas di lepas ke tangan masyarakat
sendiri. Sekularisme juga dipersepsi sebagai menempatkan agama sebagai masalah
privat atau pribadi dan mengeluarkannya dari ruang publik. Di ruang privat,
beragama berada di wilayah kebebasan. Liberalisme
atau kebebasan politik (Political
Liberalism), menurut John Rawls, hanya bisa terjadi jika wacana
doktrin-doktrin komprehensif seperti agama, dibendung untuk memasuki ruang
publik. Sebab wacana keagamaan akan menghentikan dialog dan komunikasi yang
merupakan elemen terpenting dari liberalisme. Wacana agama katanya adalah “conversation stopper” atau menghentikan
percakapan. Dalam al Qur’an, doktrin
komprehensif seperti itu bertentangan dengan azas ta’aruf (Q.s. al Hujurat: 23) yaitu prinsip saling belajar dan memahami
antar kelompok. Itulah maka filsuf Jerman kontemporer Jurgen Habermas
mewacanakan era pasca-sekularisme (post-secularism),
yakni membuka kembali pintu dialog antara agama dan sekularisme, agar saling
memahami, sesuai dengan prinsip liberalisme yang lebih esensial. Sebenarnya
esensi sekularisme dan pluralisme adalah liberalisme atau kebebasan yang
dipandang sebagai nilai tertinggi dalam eksistensi manusia. Karena itu bentuk
dan praxis sekularisme yang sejati tidak boleh bertentangan dengan liberalisme.
Dengan perkataan lain, liberalisme, pluralisme dan sekularisme harus dipahami
sebagai atau merupakan satu kesatuan.
Karena itu, maka
pemikir Muslim liberal asal Maroko, Rachid al Gamaochi, membedakan sekularisme
yang sejati dengan “pseudo-secularism”,
yaitu sekularisme yang memberangus kebebasan dan bagian dari kekuasaan
otoriter. Ironisnya, sekularisme macam inilah yang dijalankan oleh
negara-negara Arab Maghrebi, khususnya Tunisia, yang dimulai dari kepemimpinan
Habib Bourgouiba (1903-2000), yang lebih ekstrim dari sekularisme Turki.
Sekularisme seperti itu diwujudkan dalam ideologi Arabisme yang sesungguhnya
membentuk dan memberikan legitimasi terhadap negara otoriter dan fasisme di
Dunia Islam. Sekularisme seperti itu juga dibawakan melalui wacana Sosialisme
Arab, sehingga membelokkan Sosialisme yang liberal, humanis dan demokratis
menjadi fasisme yang menghapus kebebasan. Dunia Arab Islam dewasa ini pada
dasarnya dikuasai oleh dua rezim otoriter, yang berkebalikan yaitu
feodalisme-absolut yang menyatukan agama dengan negara dan sebaliknya rezim
militer otoriter yang sekular. Keduanya
sama-sama otoriter yang memberangus kebebasan sipil.
Musim semi Arab
atau “Arab Spring” pada dasawarsa kedua abad 21 itu tidak
kebetulan jika muncul pertama kali di Tunisia, yang merambat ke Mesir dan
kemudian Libia sebagai negara-negara Arab Maghrib. Di ketiga negara itu, revolusi
telah terjadi dengan tergulingnya rezim Fasisme Arab Maghreb. Keberhasilan
serupa belum terjadi di Arab Masriq atau Arab Timur, karena sekularisme tidak
dijalankan secara ekstrim di kawasan itu, walaupun telah mengebiri kebebasan
juga, sehingga gejala Arab Spring
nampak juga di beberapa negara di kawasan Arab timur itu.
Dari gejala sejarah,
terutama dalam menghadapi sekularisme itulah timbul gagasan untuk melakukan
integrasi antara agama dan sains dan teknologi. Gagasan ini bisa disebut
progresif, karena menerima sains dan teknologi modern, sebagai faktor kemajuan
dan kebebasan. Lagi pula gagasan itu sebenarnya sudah mewujud di masa lalu,
terkandung dalam al Qur’an maupun Sunnah, dan pernah diwacanakan pada masa
kegelapan Islam di Dunia Islam, tetapi kejayaan di Nusantara, oleh ulama
Syi’ah, Mullah Sadra (1572-1640). Bahkan ilmu pengetahuan yang sudah integral
itu sudah banyak dihasilkan oleh para ulama dan cendekiawan Syiah modern,
Murtaza Mutahhari (1919-1979), Mohammad Husein Taba’taba’I (1904-1981) atau
Muhammad Baqir al-sadr (1935-1980) dari kalangan ulama dan Ali Syariati (1933-1977)
atau AbdolKarim Soroush (l. 1945) dari kalangan cendekiawan.
Pemikiran-pemikiran
seperti itu telah pula dilakukan di kalangan cendekiawan Muslim Indonesia, misalnya
oleh Mohammad Natsir di bidang poilitik dan Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989)
di bidang ekonomi. Tetapi sebagai epistemologi atau metodologi penelitian,
belum dirumuskan sebagai filsafat ilmu di lingkungan Islam. Sementara itu di
Barat, epistemologi dan prosedur pembentukan ilmu telah dirumuskan dan
membentuk paradigma. Sementara itu di lingkungan Islam, yang ditulis barulah
ancangan atau gagasan. Dalam kerangka ancangan itu telah lahir beberapa wacana
epistemologi.
Pertama adalah
gagasan “Islamisasi Pengetahuan” (Islamization
of Knowledge” yang mengandung tiga versi. Pertama adalah versi Syed Hossein
Nasr (l. 1933) dari kalangan Syi’ah. Dalam versi ini, Islamisasi berarti
pendasaran teknologi khususnya sebagai ilmu kealaman terapan dengan etika
Islam, khususnya yang bersumber dari tasauf atau ilmu irfani. Kedua adalah versi Ismail Faruqi (1921-1986) yang menerima
ilmu pengetahuan umum sebagai bagian dari ilmu dalam pengertian Islam atau
warisan kemanusiaan sebagai barang yang hilang kaum muslimin. Tetapi, dalam
pengembangannya kemudian perlu dilandasi dengan etika Islam. Dan ketiga adalah
versi Syed Muhammad Naquib al-Attas (l.1931) yang berpandangan bahwa
pengembangan ilmu secara integratif harus didasarkan pada epistemologi Islam
yang perlu dikembangkan dan dirumuskan terlebih dahulu.
Gagasan
“Islamisasi” itu ditolak oleh Fazlur Rahman (1919-1988) yang berpendapat bahwa
Islamisasi tidak dilakukan terhadap ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan,
melainkan Islamisasi dilakukan pada manusia dengan pendidikan ilmu-ilmu
keagamaan Islam. Jika seorang ilmuwan telah memiliki iman dan ilmu-ilmu
keagamaan tradisional itu, maka ilmu pengetahuan yang dilahirkannya akan dengan
sendirinya diwarnai diwarnai oleh keimanan dan ilmunya itu. Masalahnya adalah
terdapatnya perbedaan antara epistemologi dalam ilmu-ilmu keislaman tradisional
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, sehingga ilmu pengetahuan yang
didasarkan pada wahyu belum tentu bisa diterapkan untuk menghasilkan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern. Sebagai contoh, wacana mengenai ilmu-ilmu kealaman yang
diyakini terkandung dalam atau diilhami oleh al Qur’an, hanyalah wacana yang
bertujuan untuk menunjukkan mukjizat al Qur’an dan kebenaran wahyu dan tidak
menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bermanfaat dalam kehidupan
manusia, misalnya tulisan yang menunjukkan bahwa dalam al Qur’an terkandung hitung-hitungan
yang berkelipatan 19.
Gagasan Islamisasi
itu di Indonesia juga ditolak oleh Kuntowidjojo (1943-2005). Ia berpendapat
sebaliknya, bahwa yang dibutuhkan bukannya “Islamisasi Pengetahuan” melainkan
“saintifikasi Islam” yang dimulai dengan obyektifikasi ajaran-ajaran Islam. Konsekuensi
dari pandangan ini adalah, penggunaan epistemologi Barat dalam kajian Islam. Dalam
kerangka pandangan itu, ia juga telah menolak “teologi” yaitu teologi
transformatif yang ia usulkan untuk dikembangkan oleh Muslim Abdurrahman
(1948-2012) dengan alasan bahwa teologi adalah ilmu keagamaan Kristen yang
tidak dikenal di kalangan Muslim karena tidak sama dengan pengertian ilmu
kalam, ilmu usuluddin atau ilmu tauhid yang intinya adalah ilmu ketuhanan dan
bukan Imu kemanusiaan atau sosial, sementara itu, teologi Kristen mencakup ilmu
kemanusiaan. Persepsi Kuntowidjojo itu tidak tepat, karena ilmu kalam atau
usuluddin itu bersumber dari konflik politik yang menimbulkan tiga aliran besar
yang menyangkut pemikiran dan gerakan politik dan kepemimpinan, yaitu al
Khawarij, Syi’ah dan Murji’ah, walaupun dalam perkembangannya kemudian menjurus
kepada ilmu ketuhanan, tetapi di lingkungan Syi’ah yang melahirkan aliran
Mu’tazilah di Abad Pertengahan itu, juga mencakup masalah-masalah kemanusiaan
dan kemasyarakatan, sebagaimana dicerminkan dalam karya al Farabi (872-950) “al Madinah al Fadilah”, walaupun karya
itu lebih dinilai sebagai karya filsafat, tetapi dikaitkan dengan kelahiran
ilmu kalam, karya itu dapat disebut juga sebagai teologi, karena bersifat prophetik.
Dalam versi apapun, proses Islamisasi telah terjadi sebagai respon terhadap
gejala sekularisme dan sekularisasi.
Dalam tesis
masternya, Yudi Latif di Australian National University (ANU) mengatakan, bahwa
di Indonesia memang telah terjadi proses sekularisasi sebagaimana dianjurkan
oleh Nurcholish Madjid. Tetapi dalam waktu yang sama telah terjadi pula proses
Islamisasi, dalam arti positif maupun negatif. Dalam arti negatif (pejoratrive), adalah berkembangnya faham
fundamentalisme agama. Dalam arti positif adalah terjadinya usaha pendasaran
terhadap ilmu dan kegiatan masyarakat dengan nilai-nilai moral dan etika
keagamaan Islam.
Dengan demikian,
maka wacana Islamisasi pengetahuan maupun saintifikasi Islam adalah dua jurusan
menuju kepada integrasi ilmu. Di lingkungan ilmu ekonomi di Indonesia, Mubyarto
(1938-2005) telah mewacanakan perlunya pendekatan antar disiplin
(inter-disciplinary) dan multi disiplin (multi-disciplinary)
dalam memahami dan memecahkan persoalan-persoalan ekonomi yang dimulai dengan
hipotesa hakekat manusia, apakah sebagai homo-economicus
ataukah juga homo-socius dan homo ethicus atau homo religious. Dalam wacana ini terkandung juga gagasan mengenai
dimasukkannya ajaran agama atau filsafat etika sebagai bagian dari disiplin
ilmu untuk memahami persoalan-persoalan ekonomi.
Dalam pemikiran
Ekonomi Islam, telah lahir sebuah pemikiran baru dari Nawab Haedar Naqwi (l.
1935) dalam bukunya “Ethics and Econimics:
An Islamic Synthesis” (1981), yang ingin mengembangkan ilmu Ekonomi Islam
dengan titik tolak asumsi mengenai hakekat manusia. Berbeda dengan asumsi
tentang hakekat manusia dalam ilmu ekonomi konvensional, Naqwi berpandangan
bahwa manusia menurut wahyu adalah manusia “teo-morfis” atau “manusia penaka
Tuhan” dalam istilah Bahrum Rangkuti (1919-1977) terhadap pandangan manusia
Mohammad Iqbal (1877-1938) yang yakni manusia yang memiliki potensi ketuhanan,
atau dalam teologi Kristen, manusia yang diciptakan dalam citra Tuhan.
Konsekuensi dari
teori Naqwi itu adalah “membalik ujung menjadi pangkal” dalam proses pembentukan
ilmu pengetahuan positif. Dalam ilmu pengetahuan positif, wacana dimulai dengan
ontologi, yaitu deskripsi mengenai kondisi dan analisis mengenai persoalan-persoalan
yang nampak dalam masyarakat atau alam semesta, kemudian dilanjutkan dengan
pencarian cara pemahaman dan pemecahan masalah yang disebut epistemologi dan
akhirnya dirumuskan nilai guna, hasil dan tujuan dari pencarian ilmu pengetahuan
itu, yang disebut sebagai aksiologi. Oleh Naqwi proses itu dibalik. Ia
memulainya dengan analisis aksiologi dengan merumuskan aksioma-aksioma yang
dengan epistemologi ilmu pengetahuan positif, dicari data-datanya melalui
penelitian empiris dan historis sebagai cermin realitas. Di situ ia
menjungkir-balikkan pengertian tentang ilmu pengetahuan positif dan normatif
yang konvensional. Di satu pihak ia bertolak dari norma, tetapi kemudian
merumuskan ilmu pengetahuan berdasarkan fakta dan data empiris dan historis.
Dalam Ekonomi Islam umpamanya, ia mengemukakan empat nilai fundamental sebagai
norma dasar, yaitu tauhid, keadilan dan kebaikan (al adl wa al ihsan), keseimbangan (al mizan) dan tanggung-jawab atau kewajiban (al fard). Pandangannya itu berbeda dengan epistemologi ilmu Ekonomi
Islam pada umumnya, yang bertolak dari kaidah-kaidah atau ketentuan-ketentuan
hukum syariat, sehingga ilmu Ekonomi Islam disebut juga ilmu Ekonomi Syariah.
Dalam
pemikirannya mengenai sistem pendidikan tinggi Islam itu, Amin Abdullah, --
satu-satunya Rektor UIN yang memikirkan pengembangan sistem pendidikan
berdasarkan konsep epistemologi --, telah memberikan sumbangan penting.
Pertama-tama, sebagai seorang ahli ilmu-ilmu keagamaan tradisional, ia mengemukakan
pandangannya mengenai orientasi ilmu yang menggabungkan dan dengan demikian
menghilangkan dikotomi antara orientasi ketuhanan (theo-sentrisme) dan
orientasi kemanusiaan (antroposentrisme) yang disebutnya Theo-antroprosentrisme”
yang integral.
Kedua ia mengemukakan
pandangannya yang berbeda dengan pengertian “intregrasi ilmu” dengan teori
inter-koneksitas antar disiplin ilmu atau program studi yang pernah di-skemakan
dalam gambar yang mirip sarang laba-laba dalam jurnal IAIN Sunan Kalijaga, “al
Jami’ah” (2006). Dalam teorinya, ia mengemukakan tiga pandangan mengenai
hubungan antar disiplin ilmu yang berujung pada teori interkoneksitas. Teori
inter-koneksitasnya itu mirip dengan teori al Farabi tentang negara dan
masyarakat, tetapi diterapkannya dalam entitas ilmu yang menempatkan agama atau
wahyu sebagai inti atau jiwa yang menjadi titik orientasi semua disiplin ilmu
yang dalam skema sarang laba-labanya, ia letakkan di tengah-tengah sehingga
terkoneksi dengan semua disiplin ilmu yang melingkarinya.
Tentang masalah
di sekitar integrasi ilmu atau re-integrasi ilmu ia melihat tiga kemungkinan.
Pertama dengan memandang text suci
atau nash sebagai entitas Ilmu yang
tunggal (single entity), dengan
pengertian mencakup segala disiplin ilmu. Konsekuensi dari pandangan ini adalah
pengabaian terhadap ilmu-ilmu pengetahuan umum yang antropho-sentris. Mengutip
ilmuwan Muslim asal Tunisia Ibrahim Moosa, pandangan ini merugikan penganutnya.
Ilmu dakwah misalnya memerlukan bantuan ilmu komunikasi yang empiris. Demikian
pula hukum mu’amalat memerlukan teori ekonomi. Sedangkan fiqih siyasah
memerlukan ilmu politik dan kenegaraan. Karena itu diperlukan diferensiasi atau
“sekularisasi”.
Kedua yang
memandang berbagai disiplin atau teori ilmu pengetahuan sebagai entittas yang
terpisah dan tersendiri (isolated entity).
Dalam ilmu pengetahuan sosial umpamanya, berbagai ilmu-ilmu sosial adalah
merupakan dan dipakai secara terpisah, seolah-olah tak ada hubungannya. Ini
bertentangan dengan kenyataan yang tertulis dalam berbagai buku dari setiap
disiplin ilmu yang selalu mengandung unsur disiplin imu yang lain, misalnya
antara ilmu ekonomi dengan ilmu politik atau sosiologi, sehingga lahir misalnya
buku sosiologi ekonomi karya Max Weber (1864-1920) dalam bukunya “Economy and Society”(1923). Hatta
seorang ekonom, juga menulis buku yang berjudul “Sosiologi Ekonomi” (1956).
Karena itu di lingkungan ilmu-ilmu sosial timbul pula gagasan integrasi antar
disiplin ilmu-ilmu social.
Sungguhpun
begitu, disiplin ilmu yang merupakan spesialisasi, tetap perlu dipertahankan,
jika tidak, maka berbagai disiplin ilmu akan menghilang atau berhenti
berkembang. Karena itu yang diperlukan bukannya “integrasi ilmu” atau “re-integrasi
ilmu”, melainkan inter-koneksi ilmu sebagaimana dikemukakan oleh M. Amin Abdullah.
Tapi dalam inter-koneksi itu, akan timbul bagian yang terintegrasi yang disebut
secara matematis sebagai “inter-section”.
Dalam teorinya mengenai sistem keilmuan di lingkungan UIN ia berpendapat bahwa
UIN adalah wilayah inter-section itu,
Bagian itu adalah integrasi antara tiga wilayah ilmu atau hadlarah yaitu hadlarah nash,
hadlarah ilm, dan hadlarah falsafah.
Masalahnya
adalah, bagaimana perwujudannya dalam sistem pengajaran dan pendidikan. Sistem
inter-koneksitas ini sebenarnya telah diterapkan di perguruan tinggi di AS dan
Kanada. Mahasiswa bisa memasuki bidang disiplin tertentu sebagai pilihan utama,
misalnya ilmu ekonomi. Tetapi ia diberi kesempatan untuk mengambil
mata-pelajaran lain sebagai komplemen. Seorang yang mempelajari ilmu fisika,
atau psikologi, pada umumnya tertarik untuk mempelajari filsafat karena koneksi
erat antar keduanya. Demikian pula seorang mahasiswa ilmu ekonomi biasanya
mengambil juga mata-pelajaran ilmu politik atau sosiologi. Kuntowidjojo, pada
dasarnya adalah ahli sejarah. Tetapi ia juga juga diakui sebagai ahli
sosiologi. Dalam kajian sejarah sosial misalnya, analisis sosiologi diperlukan.
M. Amin Abdullah
sempat menjabat Rektor UIN selama dua periode. Tetapi ia belum sempat
merealisasikan gagasannya itu. Ia pernah juga memperoleh jabatan Ketua “Majelis
Tarjih dan Pemikiran Islam” PP Muhammadiyah yang terbentuk atas usulnya. Tetapi
ketika telah menghasilkan suatu konsep mengenai pemikiran Islam, hasil
kajiannya itu ditolak untuk diterbitkan oleh PP Muhammadiyah sendiri, karena
ketakutan akan menimbulkan kontroversi, sebagaimana disinyalir oleh Nurcholish
Madjid mengenai pemikiran pembaharuan, sehingga Majelis itu kembali kepada nama
semula sebagai “Majelis Tarjih” saja
tanpa “Pemikiran Islam” . Karena itu maka PP Muhammadiyah tidak dimungkinkan
untuk mengembangkan pemikiran yang bersifat pembaharuan menurut gagasan M. Amin
Abdullah.
Pemikiran M. Amin
Abdullah mengenai epistemologi memberikan peluang bagi lahirnya era
pasca-sekularisme yang digagas oleh Habermas. Dengan epistemologi itu, maka
yang dikhawatirkan oleh Rawls bahwa doktrin komprehensif agama akan menjadi
penghambat bagi liberalisme politik, karena tidak akan menjadi conversation-stoper, berdasarkan azas
yang terkandung dalam al Qur’an sendiri, yaitu azas mujadalah, musyawarah dan
ta’aruf, yang seharusnya menjadi dasar epistemologi.
Jakarta, 13 Oktober, 2013.
CATATAN:
M.
Dawam Rahardjo adalah Pemimpin Umum dan Ketua Redaksi Jurnal ilmu dan
kebudayaan “Ulumul Qur’an”, Ketua Yayasan “Lembaga Studi Agama dan Filsafat”
(ELSAF), Rektor “Universitas Proklamasi 45”, Yogyakarta dan Ketua “Lembaga
Ekonomi dan Keuangan Syarikat Islam” (LEKSIS).
0 comments:
Post a Comment