*Cerpen ini pernah dimuat di KOMPAS, 19/6/2005, dan
diterbitkan kembali dalam buku kumpulan cerpen M. Dawam Rahardjo, "Anjing
yang Masuk Surga" (Penerbit Jalasutra, 2007).
Usamah adalah seorang keturunan Arab Pakalongan,
tapi kawin dengan seorang keturunan Arab juga asal Solo. Karena itu ia bergaul
dengan teman-temannya, dari kampung Pasar Kliwon, daerah permukiman keturunan
Arab di Solo. Ia juga mengikuti sejumlah orang yang hijrah ke Jakarta.
Teman-temannya itu, termasuk ia sendiri, semuanya telah lulus perguruan tinggi,
tapi tak semuanya jadi pegawai, sebagian memilih jadi pengusaha. Tapi semuanya
sukses, seorang di antaranya berhasil menjadi Direktur Kredit Deutsche Bank,
Bank Jerman, dan seorang lagi menjadi direktur sebuah hotel berbintang tiga.
Usamah sendiri memilih jadi wartawan sebuah majalah berita terkemuka.
Hampir semuanya mula-mula tinggal di rumah sewa.
Tapi suatu ketika mereka sepakat untuk membeli tanah di sepanjang jalan kecil
di bilangan Ciputat. Mereka mendirikan rumah berderetan. Usamah juga ikut
membeli tanah, tapi ia terpisah, karena ingin memberi tanah yang lebih murah di
bagian yang agak dalam, bahkan dekat sawah yang hanya dibatasi oleh sebuah kali
kecil. Di situ ia mampu membangun rumah sederhana tapi berhalaman luas.
Sebagian pekarangannya dipakai untuk memelihhara ayam. Peternakan ayam yang
hanya 100 ekor itu memang cukup berkembang. Tapi pada suatu hari, beberapa ekor
dicuri orang. Karena itu seorang sahabatnya menganjurkan agar ia memelihara
seekor anjing.
Memelihara anjing di kampung Betawi itu memang
sangat riskan, yang memelihara bisa tidak disukai orang sekampung.
Teman-temannya dari Solo pun ikut manyarankan agar Usamah tidak memelihara Anjing.
Tapi sahabatnya yang mengusulkan itu memberi tahu bahwa memelihara anjing itu
diperbolehkan agama. Kebetulan ia mengikuti aliran modern, al Irsyad.
Tapi sebelum memutuskan memelihara anjing itu
Usamah pernah sowan ke Buya Hamka di Kabayoran Baru, dekat Masjid al Azhar.
“Boleh tidak Buya, seorang Muslim memelihara
anjing?” tanyanya, memberanikan diri, maklum bertanya kepada ulama besar.
“Tengok ke halaman rumah. Itu ada anjing besar,”
jawab Buya.
“Di Minangkabau, memelihara anjing sudah biasa.
Bahkan ulama-ulama juga memelihara anjing. Sebagian orang kampung memelihara
anjing untuk berburu babi di hutan. Bahkan Pesantren Putri Pandang Panjang, Rahmah
el Yunusiyah, itu separuh penghuninya adalah anjing,” jelas ulama asal Minang
itu. “Di Mekkah, banyak penduduk yang memelihara anjing,” jelasnya lagi.
“Orang Muslim dianjurkan untuk menyayangi binatang,
termasuk anjing. Nabi sendiri suka dengan kucing. Nabi Daud suka burung dan
Nabi Sulaiman bersahabat dengan semua binatang. Pernah ada hadist yang
menceritakan adanya seorang pelacur yang dinyatakan Nabi akan masuk surga,
hanya karena ia memberi minuman kepada anjing yang mau mati kehausan. Bahkan ada
pula anjing yang masuk surga, yaitu anjing yang menemani pemuda-pemuda Askhabul
Kahfi yang melarikan diri dari tirani raja kafir dan mengungsi di gua dan atas
izin Allah, tertidur selama 300 tahun itu,” jelas ulama pengarang Tafsir al
Azhar itu, yang menceriterakan kisah para pemuda beriman dan seekor anjingnya
dalam Al Quran.
Dengan keterangan Buya Hamka itu Usamah, dengan
persetujuan seluruh keluarga, memutuskan untuk memelihara seokor anjing. Tak
tanggung-tanggung, ia memelihara jenis herder yang disebut German Sheppard yang
diberinya nama Nero. Tapi baru berjalan satu setengah tahun, anjing itu pun
mati. Menurut dugaan Usamah sendiri yang mendapat informasi dari orang kampung,
anjing yang masih muda usianya itu mati diracun, mungkin oleh tetangga yang tak
suka. Ia dan keluarga, terutama anak kecilnya, Najib, sangat sedih kehilangan
Nero. Tapi kemudian ia bertekad untuk memelihara lagi. Kali ini ia memelihara
jenis Gaberman yang diberinya nama Hector.
Sehari-hari Hector menemani anaknya yang terkecil,
Faris, bersama pengasuhnya, Minah, bermain-main di rerumputan pinggir kali,
dekat sawah. Hector selalu menggonggong keras, jika Faris ingin bermain-main di
kali. Jika istri Usamah pergi ke pasar, Hector selalu dibawanya, tapi ia selalu
disuruh menunggu di jalan di luar pasar, karena jika ikut masuk, akan
mengganggu orang yang takut atau jijik pada anjing. Pada suatu hari, setelah
selesai belanja, barang-barang belanjaannya ditaruh di dekat mobil, sedangkan
ia kembali ke pasar membeli barang yang kelupaan dibeli. Hector disuruh
menunggu. Namun ternyata ada juga oramg yang berusaha mengambil barang
belanjaan itu. Ketika mau mengambil kompor, rupanya pencuri itu tidak sadar
bahwa ada seekor anjing yang menjaganya. Maka meloncatlah Hector menerkam
pencuri itu sambil menggonggong keras-keras.
Mendengar gonggongan anjingnya, maka istri Usamah
kembali ke mobilnya. Pencuri itu tidak mengaku mau mencuri, bahkan marah-marah
kepada Hector dan istri Usamah.
“Kenapa kamu mau mencuri ?” tanya Bu Usamah.
“Tidak, tidak, saya tidak mencuri,” jawab si
pencuri.
“Tidak mungkin kamu diterkam oleh anjing saya, jika
tidak mau mengambil barang saya.”
“Ibu percaya pada saya atau percaya kepada binatang
najis itu?” Ibu Usamah merasa glagepan mendengar tangkisan pencuri itu. Orang-orang
yang berkerumun sepertinya memahami pertanyaan si pencuri.
“Walaupun seekor anjing, ia tak pernah berbohong.
Anjing juga tidak pernah mencuri. Hanya manusia yang suka berbohong dan
mencuri,” jawab Bu Usamah. Tapi karena tak ada bukti bahwa barangnya telah
dicuri, maka pencuri itu pun bebas.
Pernah suatu pagi hari, ada seorang yang rupanya
pemuda sekampung sendiri, berusaha mencuri ayam. Ia sempat membawa lari seekor
ayam, tapi orang itu keburu lari melompat pagar tanaman, karena mendapat gonggongan
Hector. Ketika lari terbirit-birit, Hector mengejarnya sampai tertangkap.
Pencuri itu pun, setelah melapas ayam curiannya, teriak-teriak minta tolong.
Penduduk kampung pun berusaha menolong si pencuri dengan melepaskan gigitan
anjing di bajunya, dan seorang di antaranya mengambil sepotong kayu untuk
memukul Hector. Untung Usamah sempat datang mencegah pemukulan. Tapi penduduk
malah memarahi Usamah.
“Jaga dong anjingnya. Kalau Bapak tidak datang,
anjing itu pasti mati kami hajar.”
“Lho Pak, mana mungkin anjing saya ini mengejar
orang ini tanpa alasan sepagi hari ini? Ayam saya di kandang ramai berkotek,
tanda ada yang mengganggu. Dulu saya pernah kecurian ayam, sebelum punya
anjing.”
“Apa Bapak tidak tahu, menyentuh anjing saja itu
najis hukumnya? Apalagi memelihara. Haram.”
“Yang najis itu air liur anjing gila. Anjing ini
sehat dan bersih, setia menjaga rumah dan majikannya. Tak pernah mencuri dan
berbohong, karena tidak bisa. Anjing itu seperti malaikat. Hanya bisa
menjalankan tugas menurut kodratnya,” jawab Usamah.
“Masya Allah, Pak Usamah ini termasuk orang yang
sesat. Minta ampun pada Tuhan dong karena melanggar ketentuan agama. Benar
tidak pak haji?” tanya orang kampung itu kepada seorang yang pakai kopiah putih
di sampingnya. Orang yang ditanya itu tidak berkata apa-apa, cuma mengangguk.
Usamah tidak mau terlibat dalam perdebatan agama dengan orang kampung yang
menurutnya tidak ada gunanya sama sekali.
Sejak peristiwa yang tersebar di seluruh kampung
itu, tidak ada lagi orang yang mencoba mencuri ayam. Cuma, ada yang takut
bertamu ke rumah Pak Usamah. Padahal Hector tidak menggonggong jika ada tamu.
Pernah ada seorang kiai di kampung itu yang menasihati Usamah bahwa rumah yang
ada anjingnya tidak dimasuki oleh malaikat. Teman-temannya dari Solo pun
menjadi enggan bertamu. Tapi Usamah sendiri percaya bahwa Hector itu sendiri
adalah malaikat yang hanya bisa mengabdi tanpa sedikit pun niat untuk
berkhianat atau bersikap munafik.
Hector tidak pernah menimbulkan masalah bagi Usamah
dan keluarganya dan bahkan merupakan teman baik seluruh anggota keluarga. Kalau
siang, Hector sering masuk rumah dan bersama-sama anggota keluarga yang nonton
TV. Ia terutama dekat sekali dengan Faris, anaknya yang terkecil. Dan Faris
sangat menyayanginya, sering mengelus-elusnya dan mengajaknya bicara. Tapi
kalau malam, Hector rela dan biasa tidur di luar rumah, maksudnya mungkin mau
menjaga rumah itu dari pencuri yang suka datang malam-malam. Kalau ada yang
dicurigainya, baru Hector menggonggong. Karena itu orang yang berniat jahat,
mengurungkan niatnya.
Pada suatu sore di hari Sabtu, Usamah sekeluarga
menonton TV. Faris sudah berangkat besar, sudah masuk SMP. Ia masih akrab saja
dengan Hector. Ketika Usamah sekeluarga sedang santai nonton TV, tiba-tiba
Hector masuk ke ruangan. Ia pun dengan santai nongkrong seolah-olah ikut
menonton TV. Setelah sejenak duduk, tiba-tiba kepala Hector lunglai kemudian
seolah-olah tertidur. Tapi lama benar ia tidur sampai waktunya ia seharusnya
keluar rumah. Faris pun menggoyang-goyangkannya, tapi Hector tidak bangun juga.
Rupanya, Hector sudah berhenti bernapas.
Melihat Hector tak bangun lagi, seluruh keluarga
gempar. Ibu Usamah menangis menjerit-jerit yang diikuti oleh anak-anaknya,
terutama Faris. Melihat keadaan itu maka Usamah pun, dengan suara
tersendat-sendat berkata: “Anak-anak, manusia pun akan mati, apalagi binatang
yang umurnya lebih pendek dari manusia. Hector sudah berumur hampir lima belas
tahun, padahal anjing-anjing yang lain hanya berumur sekitar tujuh atau delapan
tahun. Inna lillahi wa inna lilahi rojiun. Semuanya berasal dari Allah. Ia dan
kelak kita semua juga akan kembali kepadaNya. Abah yakin, Hector akan masuk
surga, seperti anjing para pemuda Ashabul Kahfi.”
Keesokan harinya, pagi-pagi benar, Hector
dimandikan dan dibungkus dengan kain kafan putih, seperti manusia. Ia pun
dikuburkan. Pak Usamah sempat membaca doa, sambil menitikkan air matanya. Ia
kehilangan malaikat penjaga keluarganya. Sebenarnya, tanpa doa pun, malaikat
akan masuk surga. Tapi Hector lebih menyerupai manusia, bagian dari keluarga
Usamah.
0 comments:
Post a Comment